Burung Terbang di Kelam Malam

Bentang Pustaka
Chapter #3

Mungkin Juga Aku Begitu, Jatuh Hati Kepadamu

SETELAH perjalanan selama dua jam dengan menumpangi bus pagi, aku tiba di kota kecil Panton yang masih sepi di bawah siraman sinar matahari yang baru saja terbit. Dengan memasang ransel di punggung, aku melangkah perlahan ke selatan kota, melalui jalan perkampungan yang dipadati rumah-rumah beton tua dengan pekarangan yang penuh serakan guguran daun mangga dan daun jambu. Semakin jauh aku melangkah, letak rumah-rumah itu kian berjarak satu sama lain. Semakin terasa bau kemiskinan dari sisa-sisa perang yang baru saja berakhir.

Sekitar lima belas menit kemudian, setelah melewati jembatan dengan sungai yang berair keruh, seorang anak lelaki yang kutemui di jalan situ—yang tengah menggosok-gosok mata dengan pergelangan tangannya—menunjukkan sebuah rumah yang kumaksudkan. Rumah itu setengah batu berpagar kayu, juga halamannya kotor, berserakan guguran daun jambu berwarna kuning yang berasal dari dua pohon yang tumbuh di pekarangan depannya. Sebelum mengetuk pintu, aku berdiri sejenak menarik napas, berusaha meyakinkan diri bahwa awal langkah dari petualangan ini sudah dimulai.

Pintu rumah itu terbuka begitu aku memberikan salam. Menyembul sesosok wajah perempuan yang menatapku dengan penuh penasaran. Dia tidak segera memungut dan mengenakan kerudung, sebagaimana kelaziman perempuan manakala berhadapan dengan lelaki yang bukan sanak saudara. Sama sekali dia tidak berbuat begitu dan terkesan merasa tidak perlu. Malahan, dengan tetap berdiri di mulut pintu, dia seperti sengaja memamerkan rambut panjangnya yang masih basah. Pandangannya menilikku sedemikian rupa—dimulai dari muka, kemudian kaki, dan naik lagi ke muka. Aku merasa cukup terusik karenanya.

“Betulkah ini rumah Kak Aida?” aku bertanya untuk memastikan.

“Betul,” jawabnya segera. Setelah jeda sesaat, dengan sedikit ragu dia balik bertanya, “Kamu ini siapa?”

“Aku Fais. Penulis,” ucapku serta-merta. “Ya, penulis. Begitulah,” lanjutku singkat lantaran kesulitan menjelaskan secara tepat siapa sebetulnya aku ini.

“Penulis?” tanyanya dengan kerutan halus di kening. “Kedengarannya aneh sekali. Apakah kamu pegawai pemerintah?”

“Bukan,” kataku menyanggah. “Sama sekali bukan.”

“Apakah aku mengenalmu?” selidiknya.

“Aku tidak tahu,” jawabku menatapnya kurang yakin, “mungkin aku pernah melihat Kakak di suatu tempat.”

“Di mana?” tanyanya cepat.

Aku terdiam sesaat, memikirkan suatu hal. “Aku tidak ingat, bisa jadi yang kulihat itu orang lain. Aku tidak yakin apakah itu Kakak.”

“Aduh, kamu ini macam mana, sih, bikin aku tambah bingung saja!” ujarnya berlagak kesal.

Sejenak kemudian, ketika dia terdiam, aku pun menjelaskan bahwa aku menemuinya bukan untuk suatu alasan khusus yang terlalu penting, melainkan aku mengenal suaminya dengan baik. Tentu saja alasanku itu terkesan mengada-ada karena hampir semua orang mengenal Tuan Beransyah. Setidaknya, mereka mengetahui atau mendengar ada seorang saudagar kaya yang memiliki nama itu.

Aku khawatir dia segera mengusirku. Namun, itu tidak dilakukan; untuk beberapa lama dia dalam keadaan bimbang. Sepertinya, dia bukanlah sejenis orang yang terlalu sibuk. Lantas, dia menerimaku layaknya seorang tamu.

Lantaran lantai rumah itu hanyalah semen kasar biasa yang tidak lebih bagus daripada tanah, Aida melarangku melepaskan sepatu. Aku duduk di sofa tua sambil memperhatikan sepenjuru ruangan, sementara dia buru-buru ke dapur untuk memeriksa air yang sedang dijerang. Suasana rumah sepi dan kurang mendapatkan sentuhan tangan, serupa rumah yang hanya sesekali ditempati, yang pemiliknya tidak terlalu menghiraukan apa pun selain menjaga beberapa bagian supaya tetap bersih.

Ruangan utama terbilang lebih luas dengan sejumlah perabotan tua dan kusam. Di sebelah kanan terdapat dua buah kamar tidur bersekat dinding tripleks dengan kedua pintunya terbiarkan terbuka, hanya tirai kain putih tembus pandang bermotif bunga-bunga yang menghalanginya. Di kamar depan, dari balik tirai itu, samar-samar terlihat sebuah ranjang bertilam kapas dengan bantal yang tersusun rapi di salah satu sisinya yang langsung bersentuhan dengan dinding.

Pandanganku beralih pada tempelan hiasan dinding di ruang itu yang merupakan gambar-gambar pemandangan yang sengaja digunting dari almanak bekas. Sebuah foto berbingkai kayu terpajang di tengah-tengah dinding ruangan; seorang gadis jelita yang mengenakan gaun terbuka merah jambu tanpa tutup kepala sehingga rambut panjang lurusnya terlihat jelas melewati bahu. Tubuhnya tampak utuh keseluruhan dengan wajah berseri-seri corak gadis periang yang sedang tumbuh remaja. Seulas senyum tipisnya indah sekali, sedikit menggoda, sebagaimana gambaran gadis yang tengah melalui masa-masa remaja yang penuh sukacita dan bahagia.

“Itu fotoku dulu waktu berumur tujuh belas!” seru Aida, hadir tanpa kusangka-sangka. “Manis, bukan?”

“Ya, manis sekali!” balasku.

“Waktu itu banyak sekali lelaki yang tergila-gila kepadaku.”

“Hmmm. Itu sudah pasti,” aku menanggapi.

“Mungkin kamu, Fais—andaikan saja waktu itu sudah seusia sekarang ini—juga akan jatuh hati kepadaku.”

“Ya, kukira juga begitu,” aku tidak berusaha menyangkal.

“Mungkin aku juga begitu, jatuh hati kepadamu,” balasnya.

“Hmmm.”

“Tapi, sekarang aku sudah agak berumur. Setidaknya, sepuluh tahun lebih tua daripadamu, mungkin begitulah. Apakah aku tampak berusia tiga puluh delapan?”

Aku memperhatikannya sebentar. “Tampak lebih muda empat atau lima tahun dari usia Kakak sebenarnya,” ucapku.

“Benarkah?”

“Tentu saja. Cobalah lihat di cermin.”

Dia tersenyum, berpura-pura mengabaikan saranku. “Oh, ya, berapa usiamu?”

“Dua puluh delapan,” aku menjawab. “Maksudku, hampir dua puluh delapan.”

“Bukankah benar yang kukatakan tadi, usia kita terpaut sepuluh tahun?”

Aku mengangguk, “Kakak memang pandai menebak!”

“Sepertinya, kamu terlihat agak lebih muda juga daripada usiamu itu. Tadinya kusangka kamu sekitar dua puluh limaan. Oh, ya, apakah menurutmu aku ini masih cantik?”

Lihat selengkapnya