Oweeek Oweeek Oweeek
Bayi itu menangis lagi, berulangkali ia menangis sampai hujan berubah gerimis lalu hujan lagi dan gerimis lagi. Suara tangisnya memenuhi isi ruangan keluarga yang luas dihiasi perlengkapan berkelas. Tangisnya bergaung membahana, gelombang suaranya memantul dari dinding ke lantai granit putih yang mengilap lalu menyentuh lampu kristal glamor yang menggantung indah di pucuk plafon.
Seorang gadis kecil berambut ikal yang tujuh tahun lebih tua dari bayi itu berkata, “Sudah satu jam, dia masih nangis? Dasar cengeng!”
“Amy ..., nggak boleh gitu! Mending kamu kasih makan Romeo, gih! entar kemaleman ngambek lagi tuh kucing,” seru Asih, wanita bermata teduh yang menggendong bayi.
“Iya, Ma.” Amy berlari kecil meninggalkan ruang keluarga.
“Padahal kata dokter dia sehat,” lanjut Asih mengomentari soal bayi dalam pelukannya.
Semua sudah ditanyai, termasuk pengurus panti yang sudah lebih dulu mengurus bayi itu. Salah satu pengasuh bilang, “Dia hanya perlu dimanja dan jangan coba-coba menyakiti hatinya! dia itu rapuh, Pak.”
“Padahal dari tadi aku selalu membelainya dan selalu menyayanginya,” sahut Asih yang duduk di sofa tuksedo merah, ia melirik suaminya yang memegangi gagang telepon.
“Mbak, dari tadi kami selalu membelainya dan selalu menyayanginya,” balas suaminya pada pengurus panti di ujung telepon, “tapi, kok, dia masih nangis, ya?”
“Jam segini memang jadwal dia nangis, Pak. Biasanya bakal berhenti pas azan magrib. Cobalah untuk menghiburnya dulu, atau kalau masih nangis juga kasih dia susu spesial yang legit.”
Seno, lelaki yang memegang telepon lantas melirik istrinya, “Oh, iya, Mbak, akan kami coba, makasih, Mbak. Nanti saya telepon lagi ya kalau ada yang genting.”
“Oh, iya, Pak. Kami selalu siap membantu dengan senang hati dan wajah berseri.”
TUT TUT TUT
“Gimana, dong, Pa?” tanya Asih kian gelisah.
“Coba kita ganti merek susunya, mungkin dia gak mau susu yang itu.”
Asih berhenti menyodorkan dot. “Terus susu yang mana, dong? Semua susu sudah dicoba, Pa.”
“Papa cari dulu yang mau donor ASI.” Lelaki itu kembali sibuk dengan teleponnya.
Asih terus mencoba untuk bersabar, menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan pelan. Ia harap pikirannya kembali bersahabat agar cepat menemukan cara yang tepat untuk menenangkan bayi itu. Seluruh cara akan ia lakukan demi menjadi ibu yang baik. Ia sudah bertekad karena ini memang kamauannya untuk punya anak (walau bukan darah dagingnya) ia harus bertanggung jawab dan memberi kasih sayang sepenuhnya.
Asih menggendongnya sambil berdiri, jalan sana-sini, memainkan rettle warna-warni yang bunyinya kerincing kerincing, main cilukba, mondar-mandir sambil ditimang-timang, disayang-sayang, dinyanyikan lagu Nina Bobo sampai lagu yang sedang naik daun pun tetap sama, bayinya masih saja owek owek. Asih kembali bersemayam di atas sofa, kakinya mulai pegal.