Damainya cuaca pagi perlahan memudar dengan munculnya mentari yang merenggut kesejukan. Burung-burung cantik menyudahi konser rutin mereka, lalu mulai mengudara di atas awan. Di sebuah kebun yang letaknya di belakang sebuah rumah besar, ayam-ayam tak mau ketinggalan, mereka mulai mengais tanah, mematuk cacing-cacing yang bernasib sial. Di sekeliling pucuk pohon mangga yang sedang berbunga, sekawanan lebah berkerumun, tampaknya sedang berlangsung rapat kerajaan.
Seekor lebah memisahkan diri dari kawanan—mungkin ia mulai jenuh dan memilih untuk rehat sejenak. Ia memutuskan untuk mencari aroma bunga yang menggodanya, harum bunga yang agak berbeda dari kebanyakan. Jarum proboscis (yang ia gunakan untuk menghisap madu) menuntunnya menuju rumah bak istana kerajaan itu, hanya beberapa meter dari pohon mangga. Lebah itu masuk (tanpa permisi) lewat jendela kamar yang menganga di lantai dua, lantas mendarat di atas kumpulan benang sari aster ungu yang tengah rekah di atas sebuah pot porselen.
Di sebuah kamar yang bercat hijau giok nan lembut itu terlihat seorang gadis sedang terisak-isak seraya tergugu-gugu dibalik dinding (letaknya agak menyudut). Ia baru saja membuka jendelanya karena memang lagi hareudang sekali. Uap hareudang yang memenuhi kamarnya pagi ini adalah uap kesedihan yang harus ia buang melalui jendela.
Gadis itu tak lain adalah Ina. Sudah hampir jam delapan pagi, ia baru selesai menangis, kucingnya mati (enam bulan yang lalu) dan ia terpaksa (harus) menangis lantaran Buster (kucingnya dulu) kembali bermain-main dalam memorinya pagi ini.
Memori tentang Buster yang ia cintai karena kelucuannya dan sifatnya yang cinta damai dimulai saat ia bangun kala fajar menyingsing. Ia mendapati bunga asternya telah bermekaran. Ia memutar lagu tersedih dan memutuskan untuk menangis sambil menatap aster warna-warni dari sudut ruangan kamar.
Sekelebat ingatan kelam menghampirinya, saat si kucing mengembuskan napas terakhir di pangkuannya, hati gadis itu sangat teriris sampai ia terkulai lemas usai menguburkan jasad kucingnya di kebun belakang, dan ia harus dibopong oleh tukang kebun untuk masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang sempat meronta-ronta karena berontak.
Ketika esok hari yang mendung, sehari usai kucing kesayangannya itu meninggal, ia menyemai bibit aster warna-warni ke dalam pot yang ia taruh di meja kecil dekat ambang jendela kamar--dengan kondisi yang masih berkabung dan sesenggukan. Tanaman aster (yang selalu ia sirami dengan penuh cinta) itu kini sudah berbunga dan semakin elok dipandang saat sinar mentari menerobos masuk lewat ambang jendela yang lebar sekali.
Sekarang, lihatlah seekor lebah datang, menyita perhatian Gadis itu.Ina menyeka air matanya lalu memutus alunan melodi musik mellow yang sejak tadi ia putar lewat gawai, lantas buru-buru mengayunkan kaki menuju ambang jendela. Walau masih sesenggukan, Ina tersenyum mengamati seekor lebah yang sedang asyik menghisapi nektar aster yang warnanya ungu. “Lu pasti Buster kan ..., hayo, ngaku!”
Ia menghidupkan kamera dari gawainya lalu cepat-cepat menangkap gambar pemandangan baru yang ia temui hari ini.
Cekrek.
Drrrttt drrrttt drrrttt.
Gawai dalam genggamannya tiba-tiba bergetar,menampilkan gambar sesosok wanita berkulit putih, berambut hitam ikal dan berbadan subur. Di layar juga tertulis: Kak Amy Sima memulai panggilan video. Ia menerima panggilan dengan setengah hati.
“Haloh ... dengan siapa di mana?” Gadis itu menghadapkan kamera depan ke arah langit-langit ruangan.
“Haaaiii, Inaaa ... Selamat hari minggu ... Kasihku cintaku sayangku, muaaahhh. Eh ... Gue mau bicara sama lo, bukan sama plafon!”
Ina menampilkan wajahnya penuh di layar handphone miliknya.
“Eh, lo kenapa? nangis lagi?” Amy kaget melihat mata Ina yang sembab.
Ina mengangguk bersamaan dengan menarik sudut bibirnya ke bawah. “Aster warna-warni gue banyak yang mekar, nih.” Ia mengarahkan kamera belakang ke arah bunga-bunga aster. “Gue inget Buster.” Ina kembali mengarahkan kamera handphone ke arah wajahnya, ia menarik poni kusutnya ke belakang, seolah-olah ia sedang mengalami frustrasi berat.
“Tuh kan, elo sih. Kan udah gue bilangin, sesuatu yang udah pergi hanya boleh untuk dikenang bukan untuk dipaksa agar hadir lagi ke kehidupan kita. Semua udah berbeda, lo harus terima kenyataan! Sama kayak gue yang kehilangan Romeo, gue ikhlasin aja, udah.”
“Romeo lagi ... gue gak kenal Romeo,” ujar Ina tampak menahan tawa.
“Eh ... Romeo itu kakeknya Buster. Dia mati gara-gara ditabrak motor pas Bi Wati iseng ngajak dia jalan-jalan ke pasar. Lo emang masih kecil pas kejadian itu dan Romeo meninggalkan seorang istri juga seorang anak laki-laki yang namanya Amao. Nah, Buster kucing kesayangan lo itu anaknya dari si Amao ini setelah gue jodohin dia sama Luxy, kucing temen gue yang kesepian.”
“Waw, perjodohan, kejam sekali kamu,” celetuk Ina.
“Iya, ini gue ceritain biar lo tau asal usul tuh kucing.”
“Hmmm, oke,” respons Ina lebih santai. Sebenarnya ia sudah hapal dengan kisah ini, sudah berulangkali Amy bercerita tentang silsilah keluarga Buster.
“Anaknya ada dua, cowo semua, dan pas anaknya sudah besar gue ambil yang warna abu-abu. Pas gue bawa pulang, lo yang waktu itu masih kelas empat SD kegirangan liatnya, udah deh gue kasihkan ke elu. Karena gue udah males pelihara kucing.”
“Oh.” Ina tak melihat ke arah Amy melainkan sibuk mengamati lebah imut di hadapannya.
“Gue aja bisa lupain Romeo, kucing kesayangan gue. Lo harus bisa juga!”
“Bisa, kok.”
“Nyatanya elo masih aja nanem bunga aster, alasan karena bunga aster adalah bunga favoritnya Buster, biar lo selalu merasakan kehadiran Buster setiap hari melalui bunga itu. Ah, bulshit! kembalilah ke dunia nyata, Ferguso. Jangan ngehalu terlalu tinggi!”
“Okeh.”
“Buang aja tuh bunga! biar lo bisa tenang.”
“Nggak, sekarang gue udah dapet sahabat baru.”
“Hah?”
“Sahabat baru! namanya ... Busterrr.”
“Eh, mulai lagi kan lo.” Amy mengernyitkan dahi.
“Iya beneran, nih kalo gak percaya, ada lebah ganteeeng,” ujar Ina dengan mengarahkan kamera ke arah lebah yang lagi hinggap merayapi bunga aster miliknya.
“Heh!”
“Napa?”
“Lo gila!”
“Enak aja, lo yang gila.”
“Gak ah. Liat lebah aja lo katain ganteng, kan gila itu namanya.”
“Emang ganteng, nih ya ... gue kasih liat lo deket-deket, nih lo pelototin tuh.” Ina meng-zoom gambar lebah di hadapannya sampai ke titik yang paling besar.
“Gue pengen kasih dia nama Busterrr.”
“Ina! Buster udah mati! Jangan inget2 lagi!”
“Ya udah gue tambahin ujungnya bee.Jadi, nama lebah ganteng ini adalah BusterBee. Selamat datang BusterBee ... Cintaku kasihku sayangku, muahhhh.”
“Bodo amat ..., Eh gueh ada kabar baik buat lo.” Amy terlihat antusias.
“Apaan?”
“Kakakmu tersayang ini akan pulang dalam waktu dekat. Waktunya kapan? Rahasia, pokoknya lo tunggu aja! pasti udah gak sabaran, kan? Hayo ngaku!”
Ina tak peduli dengan apa yang dikatakan Amy, ia lebih memilih untuk sibuk mengamati lebah yang sedang asyik menghisapi nektar aster berwarna ungu dan membersihkan daun-daun aster bagian bawah yang mulai kering.
“Heh ... lo dengerin gue ngomong gak, sih?”
“Bodo ah.”
“Inaaa ...,” pekik Amy. lengking suaranya sukses membuat BusterBee lari tunggang langgang tanpa pamit.
“Iiihhh ... tuh kan gara-gara suara lo, BusterBee jadi lari. Eh ... itu apa, ya? Kok rame?”
Ina terkesiap saat netranya mengikuti arah BusterBee pergi, ia malah menangkap pemandangan yang luar biasa, belum pernah ia lihat sebelumnya. Pemandangan di luar jendela sana menampakkan pohon mangga yang lagi dikerumuni oleh gerombolan teman-teman BusterBee. Mereka terbang-terbang mengelilingi pucuk pohon mangga yang bunganya lagi mekar memesona.
“Ina, coba lo bayangin! Gue udah tiga tahun lebih tinggal di Australia dan enggak pernah pulang sama sekali. Betapa kangennya gue sama—”
“Bentar bentar!” Ina cepat-cepat membuka pintu kamar lalu berlari bagai manusia panik saat kebakaran melanda.
“Inaaa ...,” lagi-lagi Amy menjerit dari ujung gawai dalam genggamannya, “Lo bisa dengerin gue dulu gak, sih ...?”