Waktu belajar telah selesai. Ina mengemasi buku-buku pelajaran dan menaruhnya di dalam tas punggung hitamnya. Ia menolehi Aydin yang sudah siap untuk pulang.
“Din, lo mau gak ikut ke rumah gue? Kita ngerjain tugas bareng. Ada yang mau gue kasih ke lo.”
Aydin menoleh, untuk yang ke sekian kalinya ia membenahi posisi kacamatanya. Cewek itu terlihat ragu.
“Tapi ... kita kan baru kenal, Na.”
“Emang gue mencurigakan gitu?”
“Iya, eh, enggak—“
“Masalah pulang entar lo dianterin sopir gue. Sopir gue baik, kok. Rumah lo juga gak jauh-jauh amat, kan?”
“Oh, iya iya. Boleh deh.”
“Di rumah gue ada ikan, lho. Katanya lo suka ikan. Sama bunga juga, lo juga suka bunga, kan?”
“Iya.”
Tiba-tiba perhatian Ina dan Aydin tersita oleh seorang cewek yang menjerit-jerit di depan kelas, ia juga menepuk-nepuk meja. Cewek itu berambut shaggy dengan mengenakan sweater pink.
“Nan, kenapa lo putusin gue coba? Gue salah apa? Lo jelasin dulu!”
“Udah jelas lo jalan sama cowok lain.”
“Ya, ampun. Itu cuman temen doang, Hanan! Harus berapa kali gue bilang sama lo, sih?” Cewek itu terlihat menglap pipinya yang mulai basah.
“Ratu ... udah-udah, lo tenangin diri dulu! Gak baik teriak-teriak siang bolong gini.” Ava berusaha menenangkan Ratu dengan merangkulnya.
Ina menatap Hanan yang wajahnya terlihat biasa saja. Hanan mengakhirinya dengan sebuah ucapan. “Udah, ya. Gua gak ada lagi urusan sama lu.” Ia menunjuk wajah Ratu dengan nada bicara yang tegas.
Cowok itu pergi meninggalkan kelas. Ina terkesiap, ia harus buru-buru mengejar Hanan. Ia lupa kalau ada janji dengan cowok itu. Lekas-lekas ia menarik tangan Aydin lalu mengajaknya berlari. Mereka melewati Ratu dan Ava yang tengah berduka. Sebenarnya ada rasa tak tega melihat seorang cewek menangis, tapi, berhubung ia punya janji dengan Hanan, ia harus cepat-cepat mengejar cowok itu sebelum ia lenyap.
Ina mendapati Hanan yang sudah hampir keluar gerbang. Cowok itu beriringan dengan dua orang temannya yang lain.
“Nan ... Hanan ..., tunggu!” Napas Ina terengah-engah, cewek itu memegangi perutnya yang sebelah kanan, agak sakit setelah berlari cepat menuruni tangga sampai ke parkiran. Tapi, temannya, Aydin terlihat biasa saja.
“Pasti kamu jarang olahraga,” celetuk Aydin di saat yang dirasa kurang tepat. Ekspresinya datar.
Ina langsung melirik temannya itu dengan dahi yang sedikit mengerut, tarikan napasnya masih memburu. Belum sempat ia merespons Aydin, Hanan sudah berdiri di depannya.
“Lo kenapa, Na?”
“Gak, capek aja abis lari turun tangga.”
“Dia kurang olahraga.” Lagi-lagi Aydin menjelaskan dengan ekspresi yang masih datar. Sehingga membuat Ina bingung dengan temannya ini, apakah ia sedang mengejek? Atau sedang memperingatkan? Atau justru lagi marah-marah?
“Gue kan ada janji sama lo,” jelas Ina pada Hanan, ia sudah melupakan perkara "kurang olahraga" yang dicetuskan Aydin.
“Janji?”
“Iya, yang tadi pagi. Masa lo gak inget?”
“Oh, jadi itu beneran?”
“Aduuuhhh ... harus berapa kali gue bilang. Ha-nan ... gue se-ri-us.”
“Oh, kirain ... Haha. Ok, ok, sekarang gimana?”
“Kita makan di rumah gue.”
“Hah? Makan di rumah lo?”
“Iya, emang kenapa?”
“Oh, nggak apa-apa. Emang rumah lo di mana?”
“Lo tau rumah gede yang di belakang lapangan golf?”
“Rumah gede? Oh tau tau.”
“Nah, itu rumah bokap gue.”
“Rumah Pak Seno?”
“Eh, kok tahu?”
“Oh, jadi lo anak Pak Seno?”
“Ih, kok lo tau, sih?”
“Siapa sih yang gak tau sama Pak Seno. Walau gak tau orangnya yang mana, seenggaknya gue tau siapa nama yang punya istana itu.”
“Oh gitu ... ya udah, lo bawa motor lo ke sana. Gue sama Aydin naik mobil jemputan.”