BusterBee

Tama Neio
Chapter #8

Part 7

Sinar sang surya mulai menumpahkan cahaya oranye. Suhu udara yang semula menyengat kini mulai bersahabat usai azan ashar berkumandang satu jam yang lalu. Walau sisa-sisa panas yang menggigit masih berkeliaran, tapi tak separah saat siang tadi.

Ayam-ayam yang bersembunyi di bawah bayangan pohon kersen pun sudah mulai berani untuk makan rumput lagi. Sebelum kembali ke kandang, mereka harus mengenyangkan perut dengan mengais tanah sampai mentari benar-benar tenggelam di ufuk barat.

Burung-burung kecil berparuh panjang dan lancip berlomba-lomba dengan gerombolan lebah untuk menjamah bunga-bunga putih yang mekar di ujung-ujung cabang pohon kersen. Seekor lebah merasa dirinya sudah kenyang dan harus kembali ke sarang.

Ia mengepakkan sayap kecilnya menuju pohon mangga yang tak jauh dari tempatnya semula. Sarang yang dibangun oleh koloninya kini sudah semakin besar. Sang ratu pun sudah mulai bertelur dan mereka harus bersiap-siap menyambut keluarga baru, sarang harus dibuat lebih besar.

Pak Bambang dengan dua orang laki-laki sibuk menata beberapa kotak yang ditaruh di sekitar pohon mangga.

“Kita tunggu beberapa Minggu lagi, baru kita pindahkan ke kotak.” Seorang lelaki paruh baya bicara pada Pak Bambang.

“Oh, kalau sekarang gak bisa, Pak?”

“Gak bisa ... kita tunggu telurnya netes dulu, baru kita ambil calon ratunya untuk ditaruh di kotak ini.” Lelaki itu menunjuk kotak kayu yang tingginya sepinggul orang dewasa.

“Ok, Pak.”

Dari kejauhan Ina datang dengan rambut hitam panjangnya yang kini sudah tergerai kusut. Ia menggunakan kaos abu-abu yang kebesaran, Ina baru saja mengambil baju itu dari lemari yang ada di kamar Amy.

“Ya udah, ambil aja, daripada dibuang, kan, sayang. Lebih baik lo yang pakek.” Begitulah kira-kira ucapan Amy sesaat setelah Ina meminta izin untuk membongkar isi lemari miliknya. Sedangkan Ina selalu senang memakai baju-baju bekas milik Amy. Ina yang bajunya merangkap celana itu berjalan santai dengan membawa sebuah tampah bambu lantas menyapa Pak Bambang.

“Pak ... itu sarang lebahnya, ya?” Ina mulai mempercepat langkah kakinya, ia tergopoh-gopoh berlari mendekati kotak-kotak yang membuatnya penasaran.

“Iya, Non. Kata Pak Edi harus nunggu beberapa Minggu dulu baru kandang lebahnya bisa diisi. Tunggu calon ratunya dulu. Gitu kan, Pak?”

“Iya, betul.”

“Oooh, ya udah.”

“Lebah ini kayaknya dari peternakan lebah Pak Edward, Non.”

“Oh, ya?”

“Mungkin ..., karena yang ternak lebah di area sini kan cuma dia.” Erwin, lelaki paruh baya itu menimpali. Rumah Pak Erwin tak jauh dari sini, ia juga sudah ahli dalam dunia perlebahan, karena memang dirinya adalah satu pegawai yang bekerja di peternakan lebah milik Pak Edward.

“Oh ya? Jadi, apakah kita termasuk kategori pencuri lebah?”

“Oh, enggak lah, Non,” balas Pak Bambang, “Lebahnya, kan, datang sendiri. Haha....”

“Jadi ... yang salah lebahnya ya, Pak ....”

Belum selesai mereka membahas sesuatu tentang lebah, sesuatu yang luar biasa mulai menyita perhatian mereka. Sebuah layang-layang aneh mengudara di atas langit oranye.

Sebuah layang-layang berbentuk seorang wanita berwajah pucat berambut hitam gimbal panjang dengan pinggiran mata yang menghitam dan mengenakan pakaian serba putih kini tengah menghiasi langit-langit pemukiman rumah warga.

Sesosok kuntilanak melayang-layang di udara. Beberapa anak kecil memekik heboh, Ina mendengarnya sayup-sayup dari luar pagar rumah yang sebenarnya agak jauh dari tempatnya berdiri.

Pandangan Ina mengikuti arah benang layangan yang mengantarkan layangan horor itu untuk terbang tinggi. Setelah memerhatikan dengan saksama, akhirnya ia menemukan siapa pelaku yang menerbangkan layang-layang kuntilanak itu, benang layangannya berasal dari tangan seorang lelaki yang biasa ia panggil Mang Udin. Lelaki berambut gondrong itu sedang terkekeh-kekeh geli sambil duduk di atas rerumputan di dekat kebun sayur.

Ternyata lelaki itu tak sendiri. Ia ditemani oleh Priska. Cucu Bik Wati yang lain, masih duduk di kelas satu SD. Mereka terkekeh bersama. Entah mengapa Ina mulai mengubah pikirannya tentang anak itu. Ina yang semula menganggapnya sebagai anak yang baik, lucu, rajin dan imut kini sudah berubah total menjadi amit-amit.

Saat Ina berjalan mendekat menuju kebun sayur, ia memperhatikan wajah Priska dipenuhi dengan arang hitam di beberapa bagian. Ulah siapa lagi kalau bukan ulah lelaki itu. Ina pernah merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia setelah ia percaya kalau wajah yang diolesi arang akan mengubah dirinya menjadi putri salju.

“Kan sudah dibilangin jangan main sama Mang Udin!” seru Ina pada Priska.

“Priska sudah jadi wonder woman, Yeay!” Anak perempuan itu mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu badannya ia putar. Ina melempar tatapan kesal pada Mang Udin yang cengar-cengir seolah tak tahu apa-apa. Tatapan laki-laki itu masih mengarah ke langit, stay focus pada layangan.

Sedang Priska seakan tak peduli dengan ucapan Ina, justru ia semakin asyik terkekeh-kekeh dengan Mang Udin setelah mendengar teriakan anak-anak dari luar pagar yang semakin heboh dengan kehadiran kuntilanak di langit oranye.

“Kalo dipanggil Pak RT jangan ajak-ajak Papa, ya, Mang. Selesain masalah sendiri!” nasihat Ina pada Mang Udin.Gadis itu berjalan santai menuju kebun bayam yang tak jauh dari Mang Udin main layangan.

“Tenang aja, Non. Cuman hiburan doang, kok.”

Lihat selengkapnya