Azan magrib berkumandang. Semua hewan peliharaan Amy yang berkeliaran sudah kembali ke kandangnya masing-masing. Keheningan malam mulai menyapa. Jangkrik-jangkrik bersiap-siap menggelar paduan suara bersama tonggeret. Seekor nyamuk yang enggan mendengarnya berusaha menghindar, dia masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur yang masih menganga.
Sesampainya di ambang pintu, si nyamuk harus meregang nyawa usai seekor cicak betina berhasil menangkapnya dengan lidah panjang yang menjulur. HAP.
Sebelum Asih menutup pintu dapur, cicak itu sudah lebih dulu masuk dan merayap di dinding bercat putih. Ia terus berjalan sampai ke ruang makan. Di sana ia melihat makanan yang telah terhidang di meja makan.
“Papa ...,” sapa Ina pada Seno yang juga baru hadir di meja makan. Ina yang rambutnya masih agak basah menarik kursi lantas duduk di sana.
Di hadapannya kini sudah terhidang pecel sayur dengan bumbu kacang yang sudah ia pastikan bakal menggoyang lidah siapa pun.
Selain pecel ada juga ayam goreng, tempe goreng, kerupuk dan juga es buah buatan Aunty Nunung.
“Udin ..., sini! Ikut makan!” Seno memanggil Udin yang masih mengeringkan rambut panjangnya yang basah kuyup, ia kebetulan lewat.
“Oh iya, Pak. Ntar aja—“
“Alah ... Udah, sini cepetan! Ntar keburu dingin!”
“Udin ... ayok makan di sini! Kalo nolak lagi saya kasih piring cantik, kamu.” Asih datang membawa sepiring kecil ikan asin bulu ayam.
Mang Udin yang masih malu-malu terpaksa ikut bergabung makan dengan majikannya. Biasanya, ia akan makan usai semua anggota keluarga selesai makan. Atau kalau tidak makan sendirian di dapur dia akan membawa piring nasi ke rumah keluarga Pak Bambang yang memang sengaja dibuatkan rumah di halaman samping.
“Mang Udin malu-malu kucing, ya ....” Ina yang sedang mengambil piring berusaha menggoda Mang Udin.
“Eh, Ina. Sebelum makan coba kamu panggil si Willi!” seru Asih yang sedang mewadahi es buah ke dalam sebuah gelas.
Mendengar nama Willi, ekspresi Ina berubah. “Iya, Ma.”
Dengan langkah yang agak malas ia berjalan menuju sebuah kamar yang letaknya lumayan jauh, bersebelahan dengan bioskop mini.
“Willi ....” Ina mengetuk pintu tiga kali. Tak ada sahutan. Ina mengetuk lagi dengan ketukan yang lebih mengentak. Belum juga disahuti oleh Willi. Sampai tujuh kali gadis itu mengulanginya tetap saja tak ada respons. Ina yang geram lantas membuka pintu kamar yang tak dikunci itu.
Ia mendorong daun pintu dengan kecepatan sedang, sehingga pintu itu berayun mengapit dinding granit bermotif klasik. Ina menyandarkan bahunya pada kusen pintu berbahan kayu mahoni sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Willi!” panggil Ina masih terkesan sopan.
Tapi laki-laki yang umurnya lebih muda satu tahun dari Ina itu tetap tak menyahut. Willi masih terlalu sibuk dengan games yang sedang ia mainkan di sebuah monitor LED lengkung.
Telinganya ia sumbat dengan headphone wireless berwarna hitam. Jari-jari tangannya lincah memainkan stick PS yang warnanya emas.
“Willi!”
Dengan langkah yang agak memburu ia menghampiri Willi yang sedang asyik bermain games, cowok itu bersandar di sebuah kursi gaming hitam dengan sedikit motif kebiruan.
Tingkahnya yang seolah tak peduli meski Ina sekarang jelas-jelas sedang berdiri di sampingnya membuat Ina geram. Hampir saja gadis itu menarik paksa headphone yang menempel di kupingnya.
Namun, ia masih berusaha sabar. Dengan cara yang masih halus Ina menjawil bahu kiri Willi. Beberapa detik kemudian, setelah game-nya berakhir barulah anak lelaki itu melepas sumbat di telinganya.
“Apaan, sih?”
“Lo tuh ... bisa gak sih kalo main game gak usah pakek headphone?”
“Eh, suka-suka gue lah. Lo urusin aja idup lo. Gak usah ngurusin gue.”
“Udah, ah. Males debat sama lo. Ayok makan! Udah ditungguin Mama sama Papa ...,” ajak Ina, “sini, gue bantuin berdiri!” Ina mengambil sebuah tongkat dan berusaha meraih lengan Willi.
“Lo bilang apa? Mama? Papa?” tanya Willi dengan tatapan sinis, “mereka itu bukan orangtua gue ... dan bukan orangtua lo juga!”
Dada Ina bergemuruh usai Willi mengucapkan itu.
“Kok lo bilang gitu, sih?”
“Emang kenyataanya gitu,” Willi mengalihkan pandangannya ke layar LED.
Ina menghela napas, ia harus berusaha keras melapangkan dadanya kalau sudah berhadapan dengan orang satu ini. Ina memikirkan cara lain agar Willi bisa dibujuk makan tanpa membahas sesuatu yang berbau orangtua kandung.