BusterBee

Tama Neio
Chapter #10

Part 9

Daun pintu bermotif batik terkuak kala embun masih sibuk melayang di awang-awang. Seorang gadis berkepang dua dengan kacamata bulat besar terlihat ragu melangkah keluar. Sebelum melangkah menaiki mobil merah di depannya, Ina membenahi ikat sepatunya dulu, sedikit kurang kencang.

Entah mengapa tiba-tiba rasa ragu itu kembali muncul. Ina merasa harinya akan selalu buruk saat ia akan meluncur ke sekolah. Sejak kejadian yang menimpanya beberapa tahun yang lalu, saat ia duduk di bangku kelas dua SMP.

Saat Ina sudah mulai berani berteman dengan siapa pun hingga membuatnya lebih percaya diri, ia justru dimanfaatkan oleh teman-temannya, mereka hanya ada di saat senang dan hilang di saat ia sedih. Ina merasa jadi kacung di kelas tanpa seorang pun yang membelanya, hingga Ina merasa jatuh dan mulai jenuh untuk bersekolah.

Tat kala Ina merasa tertindas, ia mengharapkan kedatangan seorang pangeran untuk menyelamatkan dirinya, ia merasa tak berdaya dan sangat membutuhkan seorang pelindung kala ia berada di sekolah.

Suatu ketika hal sangat memalukan pun terjadi. Saat Ina mulai merasa dirinya sudah benar-benar menjadi korban penindasan, ia mulai berani berdandan guna menarik perhatian calon pangerannya. Apa yang dilakukannya itu sukses membuat heboh satu sekolah. Sampai-sampai ada yang dengan beraninya menyiarkan berita kalau ada tante-tante yang nyasar ke SMP mereka. Bukan pangeran yang didapat, melainkan bully-an.

Ina baru sadar hari ini—kalau hidupnya dulu sungguh penuh dengan drama, layaknya drama tuan putri yang mengharapkan kedatangan pangeran saat dirinya sedang tertindas.

Mulai hari itu, Ina menjadi bahan olok-olokan. Tingkat kesetresan Ina bertambah berkali-kali lipat hingga ia divonis mengalami depresi di usia dini. Sampai sekarang ia pun tak mengerti mengapa dirinya bisa sampai jadi seperti ini.

Setelah tingkat depresinya berangsur menurun usai diobati oleh dokter jiwa profesional, Ina lebih memilih untuk diam, berusaha melenyapkan diri meski ia masih ikut rombongan belajar di dalam kelas. Dan benar saja, ia menjadi orang yang tak dianggap. Ia pun tak keberatan. Ya, gadis itu memang mengharapkan demikian, berharap dianggap lenyap oleh semua orang.

Nobody knows I'm here, but I’m happy, maybe this is my destiny. Slogan yang menurutnya cocok untuk dirinya kala itu dan lumayan ampuh membuatnya kembali berharga meski hanya untuk dirinya sendiri.

Namun, itu bukanlah akhir kisah sedihnya di SMP. Sebuah kejadian terakhir yang menambah panjang daftar hal-hal memilukan dalam hidupnya rupanya masih terus berlanjut, membuat pandangan hidupnya kian berubah. Saat di mana ia menolong seorang teman yang juga menjadi korban perundungan, seorang wanita dikatai cebol, kurang cantik, dan banyak tingkah.

Bukannya sukses mengalahkan orang-orang bejat itu, yang ada justru Ina-lah yang menjadi korban perundungan selanjutnya.

Usai kejadian yang mengerikan itu, Ina jadi benar-benar malas untuk bertemu siapa pun. Mau itu teman, guru, satpam sekolah, atau siapa pun itu yang ada di luar rumah tak mau lagi ia pedulikan. Sejak saat itu, Ina lebih memilih untuk fokus dengan dirinya sendiri.

“Non, ayok berangkat!” ajak Pak Bambang yang membuyarkan lamunan Ina.

Di dalam mobil sudah ada Lula, Priska, dan juga Dika. Dalam perjalanan, Priska dan Dika tak henti-hentinya mengajak Ina menerbangkan layang-layang berbentuk pocong sore nanti. Mereka mengaku kalau layang-layang itu adalah hasil karya mereka bersama Mang Udin.

Sedang Lula terlihat gelisah, ia baru ingat kalau ada satu peliharaan Amy di dalam rumah yang lupa ia kasih makan pagi ini. Ikan Arwana.

Konsentrasi Ina terpecah antara mendengarkan musik rock yang diputar Pak Bambang atau mendengarkan suara bocah-bocah yang saling berdebat tentang nama yang harus diberikan pada ayam Amy yang baru saja menetas pagi ini.

“Duluan, ya ....” Ina melambai ke arah Pak Bambang dan anak-anaknya. Dika, masih sempat-sempatnya menanyai Ina meski gadis itu sudah turun dari mobil.

“Hewan apa yang kakinya tiga?”

“Becak,” jawab Ina santai lalu fokus dengan langkah kakinya menuju gerbang sekolah. Ina bahagia sekali bisa turun dari mobil lebih dulu. Dalam hati ia berjanji akan membersihkan telinganya sore ini. Yang harus ia lakukan sekarang adalah cepat-cepat melupakan perkara hewan berkaki tiga yang masih mengusik pikirannya, apakah hewan berkaki tiga itu benar-benar ada?

“Ih, apaan, sih!”

Ia juga harus membuang jauh-jauh ingatan tentang arwana Amy yang lupa dikasih makan atau layang-layang pocong yang menjadi pembahasan utama di dalam mobil.

Yang ia tekankan dalam dirinya sekarang adalah jangan sampai kalah dengan diri sendiri. Ia harus segera membuang semua pikiran negatif yang ia ciptakan sendiri. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi lebih baik. Paling tidak hari ini, pikirannya tentang semua orang jahat itu perlahan hilang.

Ya, Ina memang tak setuju dengan pendapat Amy yang mengatakan kalau semua orang di dunia ini baik, tapi setidaknya ia punya keyakinan baru setelah bertemu Hanan dan Aydin. Malam tadi ia mulai merenung, memikirkan keyakinannya yang sepertinya salah, sampai ia berani untuk berubah pikiran. Jika sebelumnya ia sangat percaya kalau semua orang di luar sana adalah orang jahat, kini ia ubah menjadi: tidak semua orang di luar rumah itu jahat. Ia harus tetap optimis bisa menemukan orang-orang yang benar-benar baik dan mengajaknya untuk berteman.

Sekarang ... kakinya sudah sampai di ambang pintu kelas sepuluh IPA 1. Keraguannya hari ini mulai sirna, berganti senyum optimis yang terlukis di wajah ovalnya.

“Hallo se—“

“Hallo, Inaaa ....” Serempak teman-teman di kelasnya yang sudah datang menyambut Ina sebelum ia tuntas mengucapkan selamat pagi.

Ina tersenyum menampakkan gigi-giginya yang putih. “Nah, gitu, dong. Semangat belajarnya hari ini, ya ....”

Lihat selengkapnya