BusterBee

Tama Neio
Chapter #11

Part 10

Kue kering kacang mede yang baru dibuat Asih bersama Aunty kemarin sudah kehilangan jati diri. Di dalam toples kristal itu hanya tersisa cookies-nya saja, sedangkan kacang mede yang semula menempel indah di atas cookies kini telah lenyap.

Ina tak perlu repot-repot menyelediki kasus ini lebih dalam guna menemukan siapa pelaku utama di balik semua ini. Sedari dulu semua penghuni rumah pun tahu kalau pecinta kacang mede di sini hanya ada dua orang, Ina dan satu orang lagi yang tak ingin ia sebut namanya. Siapa lagi kalau bukan ... Willi.

Tanpa permisi, Ina langsung membuka pintu kamar Willi. Dan ... rupanya anak menyebalkan itu sedang berada di dalam kamar mandi dengan meninggalkan monitor LED yang tetap menyala. Benar saja, di meja dekat layar monitor ada sebuah mangkuk berisi kacang mede yang tinggal beberapa biji lagi. Ina berusaha mengikhlaskan semua itu dan memilih untuk mencari sesuatu yang lain.

Ina mencari-cari sebuah benda yang ia butuhkan sekarang. Sebuah gitar akustik berbahan kayu ebony pemberian Seno di ulangtahun Willi yang ke-13.

Yang dicari akhirnya ketemu. Gitar itu menggantung di sebuah ruangan khusus yang hanya boleh dimasuki oleh si empunya kamar. Tapi, menurut Ina peraturan itu tidak berlaku untuknya. Ia langsung mencomot gitar itu lalu membawanya pergi.

Baru saja kakinya sampai di ambang pintu, Willi tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan bantuan sebuah tongkat kruk. Willi memergoki Ina yang lagi memegang gitar kesayangannya.

“Woy! Lo ngapain bawa gitar gue?”

Ina terperanjat melihat Willi yang wajahnya dongkol. Cepat-cepat ia memasang gaya ksatria bergitar ala Rhoma Irama lalu memetik semua senar secara membabi buta sehingga menghasilkan bunyi yang kurang sopan masuk ke kuping.

“Gue pinjem bentar, ntar gue balikin, bye.

Saat Ina akan menutup pintu, tiba-tiba muncul Priska dan Dika yang akan mengantarkan minuman untuk Willi. Nah, kebetulan, batin Ina. Ia membisiki keduanya untuk mengajak Willi bermain-main.

“Bang Willi lagi main game baru, sana ikut main!” BRAK. Ina menutup pintu. Samar-samar terdengar suara raungan Willi yang tak rela game-nya diambil alih.

Gadis itu berjalan santai sambil cekikikan melewati kerumunan orang-orang yang tengah mempersiapkan pesta nanti malam. Ada yang sibuk menata bunga-bunga, ada yang sibuk menata kitchen set (salah satu pertunjukkan penting malam ini), ada yang sibuk menata meja, lalu ada lagi yang mempersiapkan area tempat panggung bernyanyi.

Ina tak suka menyanyi, tapi gitar yang ia bawa ini akan ia persembahkan untuk temannya yang telah menunggu di teras belakang, Hanan.

Hanan akan melakukan live di akun Instagram miliknya. Selama live ia akan menyanyi menggunakan gitar Willi yang berhasil dicuri oleh Ina. Sebenarnya Ina khawatir kalau saja Willi tiba-tiba datang dan merampas gitar itu dari tangan Hanan. Tapi ia harus tetap tenang. Ia tahu kalau adiknya tak se-bar-bar itu. Ina harus meyakinkan dirinya kalau Willi masih punya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Ok, sesuai permintaan kalian kali ini gue bakal nge-cover lagu yang lagi hits sekarang, apalagi kalo bukan 'Hallo Cinta' “ Hanan mulai bernyanyi.

Ina dan Aydin yang memandangi Hanan dari jauh sesekali ikut mengucapkan lirik yang dinyanyikan Hanan. Ujung jari-jari Ina sesekali ia ketuk-ketukkan ke meja kayu bundar sembari menikmati dentingan senar gitar yang dipetik merdu oleh Hanan.

Sambil menghabisi es jeruk, Ina dan Aydin memakan sisa kue peninggalan Willi yang bersemayam di dalam sebuah toples kristal berkaki satu. Tanpa diduga, Aydin yang duduk di hadapan Ina tiba-tiba bersendawa, suaranya besar sekali. Ina mulai merasa risih setiap kali berdekatan dengan Aydin. Tapi kali ini temannya itu justru tertawa. Sedangkan Ina tak mau tertawa.

“Bebek betutunya enak banget. Sekarang, kamu maksa aku buat ngabisin kue ini. Isi perutku sudah penuh. Tolong jangan paksa aku buat makan yang lain! Ok.”

Ina melongo dengan dahi yang berkerut. “Lo sehat, kan?” Ina menempelkan punggung tangannya pada dahi Aydin.

Aydin tersenyum. “Sehat, kok.” Cewek itu protes tapi masih tetap menggerogoti cookies-nya satu persatu.

Ina harus berhati-hati, mungkin saja cewek di depannya ini akan menerkamnya sewaktu-waktu (tanpa ia sadari dan tanpa persiapan yang cukup untuk menangkis serangan). Karena dia memang agak sulit ditebak, ekspresinya terkadang menggantung. Pernah Ina melihatnya marah tapi ternyata ia mengaku sedang bercanda.

“Lo coba liat Hanan!” titah Ina pada Aydin (Ina berusaha membahas topik lain agar Aydin lupa untuk berbuat keanehan).

Aydin menoleh ke belakang, ia mendapati cowok berhidung mancung itu tengah membahas sesuatu bersama fans-nya.

Follower-nya emang banyak, biasa lah, orang ganteng, emang kenapa?” jelas Aydin seraya mengangkat alis tipisnya.

“Gue heran, Din. Kok, Hanan mudah banget, ya, bagiin kehidupan pribadinya di media sosial. Apa-apa di-upload. Kalo gue mah ... ogah.”

“Mungkin dia cuma cari perhatian aja, biar banyak temen cewe atau ... mungkin dia ingin sekali diakui kalau dia memang tampan tak tertandingi.”

“Ih lo lucu, ya.”Ina menyeringai.

“Iya. Seperti inilah aku, apa adanya.”

Lama-lama Ina jadi sangat ingin mengajak Aydin ke kandang buaya.

“Emang berapa, sih, followers dia?” tanya Ina.

“Banyak, tak hingga, menyentuh angka puluhan ribu. Padahal isinya cuma foto selfie, tapi yang nge-like banyak banget, ribuan. Giliran aku yang upload foto selfie, yang nge-like cuma kakak sama satu temen sekolah pas SMP. Terus, aku hapus lagi. Kenapa? Kamu mau kayak dia juga?”

“Ahaha, enggak lah.”

“Nih, kalo kamu mau liat.” Aydin menyodorkan gawai miliknya.

Ina mengamati satu per satu feed photo yang dibagikan Hanan. Ada beberapa foto wefie bersama teman-temannya yang memasang beberapa pose candid dan berwajah sangar, OOTD selfie, mirror selfie, foto pemandangan, foto makanan, dan tak kalah banyaknya adalah foto endorsement beberapa produk.

“Wow. Like-nya ribuan.”

“Coba kamu bandingkan sama postingan aku.” Aydin mengarahkan layarnya menuju akun pribadinya. Ina melihat berbagai macam foto bunga, ikan, tutorial makeup dan foto sabun mandi yang hanya mendapat like paling banyak seratus.

“Profil kamu foto sabun?”

“Iya, Ibuk aku tuh lagi jualan sabun. Jadi aku pasang aja di IG kali aja ada yang mau beli.”

“Oh, jadi sabun ini yang mau lo kasih ke gue?”

“Oh iya dong.” Aydin merogoh tasnya yang berwarna merah muda. “Nih, aku kasih gratis buat kamu.” Bibir kecil Aydin melengkung indah sembari ia menopangkan dua telapak tangannya di dagu.

“Ceritanya lo lagi promo, nih?”

“Iya. Kamu cobain dulu! Aku udah pakek kok, dulu kulit aku tuh kusam banget dan kayak kering gak jelas gitu. Terus aku cobain sabun mandi ini, setelah coba, aku gak mau pindah ke yang lain.”

Ina mengamati kulit tangan Aydin. Memang terlihat bersih dan lembab. “Oh, oke deh aku pakek, ya.”

“Dan ... satu lagi.” Aydin kembali merogoh tas pink-nya. “Taraaa ... sabun muka. Ini juga aku kasih gratis buat kamu. Coba pakek! Kulit kita hampir sama, mudah-mudahan wajah kamu bakalan kinclong. Tapi ... ngomong-ngomong kamu gak pernah perawatan wajah, ya?”

“Enggak, cuma gue sabunin aja pakek sabun mandi biasa.”

“Astagaaa ... wajar wajah kamu kusam kayak gini.” Aydin lekat-lekat memperhatikan wajah Ina. “Apalagi muka berminyak perlu banget perawatan wajah.”

“Iya, Din. Lo bener, sih. Tapi ....”

“Kenapa?”

“Gue takut cantik.”

“Astagaaa ... kenapa kamu bicara begitu?”

“Gue trauma menjadi cantik. Ntar sindrom gue muncul lagi.”

“Kok, bisa?”

Lihat selengkapnya