BusterBee

Tama Neio
Chapter #14

Part 13

Belajar di sekolah menjadi begitu membosankan saat mood Ina turun drastis usai kejadian yang menjengkelkan semalam. Beruntungnya, semua guru yang mengajar hari ini tak menghadiahi tugas alias pekerjaan rumah. Jadi, ia tak perlu repot-repot menjejalkan teori-teori pelajaran ke dalam otaknya yang sekarang sedang dipenuhi dengan benang-benang kusut.

Untuk makan siang pun ia lebih memilih makan di luar. Ina mengajak Hanan dan Aydin makan siang di restoran fastfood tak jauh dari sekolah mereka. Setidaknya bercanda dengan kedua temannya itu bisa sedikit membantu membuat harinya menjadi lebih baik.

Sekarang, gadis yang telah menggerai rambut panjangnya itu menaruh kepalanya dalam pangkuan Amy.

“Iya, gue serius! Kesadaran gue tuh kayak lenyap sebagian gitu, gak bisa ngontrol! Dari awal emang tangan gue udah gatel, sih, pengen ngegampar tuh cowok.”

Amy terkekeh geli mengingat tingkah konyol sang adik kemarin malam. “Udah lah, yang berlalu biarlah berlalu!”

Ina sedang berada di kamar Amy, warna interiornya dominan ungu, terkesan lebih soft seperti warna lavender, membuat hatinya sedikit merasa tentram.

Penampakan akuarium berisi Axolotl, si alien air yang menggemaskan membuat suasana menjadi lebih hidup. Lampu akurium yang menyala ditemani dengan riak air juga gelembung-gelembung yang meramaikan akuarium menjadikan heningnya malam tak terlalu terasa.

Seekor kucing Ragdoll berbulu abu-abu putih yang baru saja dibeli Amy siang tadi kini sudah jinak di tangannya, dia sudah mau disuruh naik ke atas kasur. Pipinya yang bulat dan sifatnya yang tenang membuat Ina harus berusaha keras mengontrol pikirannya agar Buster tak lagi bermain-main dalam ingatannya.

“Icaaa ...,” panggil Amy. Kucing betina itu sudah mau mendekat. Amy mengelus-elus dadanya yang lembut.

“Kenapa lo kasih nama Ica? Kenapa gak Alice? Agatha? Anabella? atau Molly? Menurut gue itu lebih kekinian.”

“Tadi gue panggil dia Elizabeth, dia gak mau deket. Gue ganti Jennifer, dia malah menjauh. Bener kata Abang-abang yang jual, namanya Ica dan harus Ica! Titik!”

“Tapi, kalo gue yang beli kucing ini, gue bakal tuker sama yang mau dipanggil Anabella.”

Ina membalik posisi tubuhnya yang berbaring ke arah kanan. Kenyamanan lebih Ina rasakan saat ia berbaring di pangkuan Amy. Menurutnya, ini adalah bantal terbaik yang pernah ia gunakan.

“Bodo ah, komentar ga ada akhlak.”Ina membaca komentar-komentar netizen pada sebuah foto quotes yang baru saja ia upload di Instagram beberapa jam yang lalu.

“Apaan, sih?” tanya Amy santai sambil menyandarkan punggung pada dinding yang menempel dengan ranjangnya.

“Gue penasaran sama penampakan orang yang suka ngehujat di medsos.”

Amy melirik gawai Ina. “Sejak kapan lo aktif Instagram lagi?”

“Sejak gue kenalan sama Aydin dan Hanan.”

“Oh.”

“Ya ampun, Ratu DM gue ... ‘Hey, bangsat, cewek kegatelan, tunjukin muka lo! Beraninya ngumpet aja, dasar pelakor! Jangan-jangan, muka lo burik, ya? Hahaha’.”

“Eh, lo ngomong apaan?”

“ini ... ada yang nge-DM gueh, dia gak suka gue deket sama Hanan. Eh, maksud gue Hanan deket sama akun ini, bukan sama gue.”

“Siapa?”

“Ratu.”

“Lo tau orangnya yang mana?”

“Tau, dia seangkatan sama gue cuma beda kelas.”

“Terus kenapa dia minta tunjukin muka? Maksudnya gimana, sih, gue gak ngerti.”

“Hanan upload foto tangan gue yang lagi pegangan sama tangannya, cuman buat manas-manasin mantan dia yang udah jalan sama cowok lain. Terus dia tag akun gue. Untung gue gak pasang foto.”

“Ow, jadi ceritanya lo berdua pacaran?”

“Ih, enggak lah. Itu pura-pura doang! Kan, udah dibilangin, kata 'pangeran' udah gue apus dari kamus kehidupan gue.”

“Cuihhh.” Amy pura-pura meludah ke sebalah kiri kemudian terkekeh. “Mending lo apus aja tuh akun! Entar lo dapet Masalah lagi. Dan ... Nangis lagi.”

“Biarin, ah. Buat seneng-seneng. Haha, Lagian gue gak akan nunjukin muka. Bully-an? Never mind.”

“Kalo bagi lo bully-an gak masalah, terus yang semalem itu apa?”

“Iya juga, sih. Kenapa gue labil banget, ya? Aaarrrggghhh.” Cewek itu menutupi wajahnya dengan bantal.

“Gapapa. Seumuran lo memang sedang labil-labilnya. Tapi tolong, selabil-labilnya elo, kalo gue boleh saran, tunjukkanlah penampilan yang normal. Jadilah diri lo sendiri! Jangan lagi pakek kacamata gede, baju kebesaran, kuncir dua, poni rata, pipi berbintik-bintik, kulit kusam!”

“Hey, biarin! Gue udah nyaman kayak gitu. Dengan melarang diri gue cantik, ga bakal ada cowok yang ngelirik gue, ga ada yang namanya pangeran, gak perlu ke-ge-er-an, ga ada lagi yang namanya sindrom cinderella dalam hidup gue, dan gue bisa fokus belajar.”

“Nyaman apa terpaksa, nih?”

“Dua-duanya. Terpaksa! karena ini jalan termudah buat ngeliatin yang mana temen sejati dan yang mana temen sampah. Nyaman! karena dengan begitu, gue bisa ngatasin sindrom gue.”

“Ngatasin sindrom?”

“Iya, lo tau kan apa yang gue maksud? gara-gara sindrom itu pikiran gue jadi kacau.”

“Bentar ... kayaknya lo salah, deh.” Amy mengernyitkan dahi. “Nah, kebetulan!”

“Kebetulan apa?”

“Gue punya cerita!”

“Apaan?”

“Gini ...gue pernah baca buku yang membahas tentang sindrom cinderella. Sindrom ini bisa muncul karena anak cewek yang terlalu dimanjain sejak kecil.”

“Gue manja sejak usia dini.”

“Nah, itu dia! Masalahnya adalah MAN-JA, tolong garis bawahin ya! MANJA.”

“Iya, gue udah tau kok. Kata dokter jiwa juga bilang kayak gitu. Makanya gue udah usaha buat mandiri, sumpah itu susah banget!”

“Dan—“

Lihat selengkapnya