Sampai bebek bisa melahirkan anak buaya atau ikan hiu yang bisa berjalan kaki dalam rangka memeriahkan acara Car Free Day di Jalan Sudirman, Amy akan tetap kokoh dengan pendiriannya.
“Ini belum jam sepuluh!” rutuk Ina, masih berharap agar Amy berubah pikiran.
“Satu menit lagi jam sepuluh. Jadwal gue tidur jam sepuluh lewat dua menit,” jelas Amy yang sudah merebahkan tubuh di atas kasur. Kini hanya lampu tidur yang menyala.
“Padahal lagi seru!” Ina masih tetap bersandar di daun pintu.
“Udah ... lo besok sekolah, tidur sanah! Lanjut bahasnya besok lagi. Entar gue panggilin Piyan mau lo?” Amy terkekeh.
“Gak asik, lo, cupu! culun!”
“Eeeh masih aja, lo. Udah tidur sana!”
“Hmmm ... ok lah, good night.”
“Good night.”
Ina terpaksa menutup pintu kamar Amy. Ia melepas napas pelan. Dengan mata yang sebenarnya masih punya daya lebih untuk untuk tetap terjaga, ia berjalan menuju pintu kamarnya yang hanya berjarak sepuluh meter.
Entah mengapa malam ini ia seperti mendapat energi lebih usai bercerita dengan Amy. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia bahas bersama Amy. Berhubung Kakaknya itu kelewat disiplin, dengan jadwal padatnya yang terkesan dibuat-buat, ia harus bersabar menunggu esok hari.
Ina menghidupkan lampu kamar. Ia berjalan menuju ambang jendela lalu membukanya. Ribuan bintang yang tertata apik di atas langit malam seakan menyambutnya. Mereka seolah-olah hidup, melihat Ina dari kejauhan.
Kalau saja bintang bisa ngomong, Ina akan bercerita kalau dirinya sedang bersemangat malam ini. Lalu, setelah itu Ina akan bertanya tentang suatu hal. Pertanyaan yang dari dulu tak pernah ia temukan jawabannya. Dimana orangtua kandung gue?
Bintang tinggalnya di atas langit, mungkin ia bisa bertanya pada matahari tentang keberadaan orangtua kandung Ina. Karena matahari pasti ikut menyaksikan tragedi yang dialami Ina lima belas tahun yang lalu.
Dinginnya embusan angin malam membelai kulit Ina dengan lembut. Hanya ada bunyi jangkrik bersahut-sahutan juga bunyi serangga-serangga malam yang menemani Ina. Suasana malam yang mulai menyepi membuat sebuah rasa bangkit menggelayuti hatinya. Rasa rindu yang mendalam.
“Mama sama Papa di mana?” Suaranya bergetar. “Ina pengen ketemu!” Ina menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya. Tatapannya masih memanah ke arah bintang-bintang yang mengelilingi bulan sabit.
Berulangkali pertanyaan itu tercetus dalam hatinya, sebuah pertanyaan yang mungkin tak akan pernah ada jawabannya. Hanya sia-sia saja.
“Kenapa Mama sama Papa tega jual Ina?” Air matanya mengalir deras dari bagian tengah bola matanya. Bintang-bintang yang ia pandang menjadi buram, berbayang-bayang.
“Ina punya perasaan! Mama sama Papa jahat!”
Gadis itu sesenggukan, dadanya terasa sesak. Telapak tangannya ia topangkan di atas meja tempat pot-pot berisi aster warna-warni ditaruh.
“Kalo memang kalian gak ngarepin Ina ada, kenapa kalian gak bunuh Ina sejak lahir?” Gadis itu kini terduduk di kursi. Matanya masih lekat pada pemandangan langit.