“Anjing apa yang kakinya tiga?”
Ina menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
SAT
Siapa lagi kalau bukan Dika, dia tertawa bersama Priska dari balik jendela mobil yang terbuka.
“Kenapa setiap gue turun lo nanyain gue yang aneh-aneh?”
“Kakak Ina jawab dulu!” seru Dika.
Ina melirik Pak Bambang yang duduk di kursi sopir. Pria setengah baya itu menutupi mulutnya, pasti dia sedang tertawa. Seolah-olah memang sengaja menyuruh dua anaknya ini untuk mewarnai hari Ina agar terasa lebih indah dan menyenangkan.
“Anjing yang kakinya tiga?” Bola mata Ina menerawang ke atas, seakan-akan jawabannya tersedia di atas langit. “Anjing yang kakinya tiga itu ... anjing yang satu kakinya diamputasi gara-gara digigit Priska!”
Priska berhenti tertawa, giginya yang mengerikan itu terkatup rapat. Tatapannya mulai mengintimidasi.
“Salah ...! anjing yang kakinya tiga adalah anjing yang lagi kencing!” Dika tersenyum lebar seraya menopangkan ibu jari dan telunjuk di dagu bulatnya, matanya yang sipit semakin menyipit. Ina melihat sesosok makhluk kecil yang mirip sekali dengan Mr. Bean.
“Wah ... Tebakan apa itu? Sangat tidak berguna!”
“Arrrrrr ...,” Priska menirukan suara anjing yang lagi sensitif. Jari-jari tangannya mencakar-cakar udara. Ina harus berhati-hati dengan perempuan kecil satu ini. Ia tak mau bernasib sama seperti Amy, digigit Priska lantaran ketahuan menggoreng ikan toman yang ada di akuarium dapur.
“Bilang aja kalo kalian lagi senang karena hari ini mau jalan-jalan beli ikan sama beli anjing!”
“Oh, iya dong!” Priska menyilangkan dua tangannya di dada.
“Kakak tantang kalian!”
“Apa?” tanya Dika.
Ina menunjuk dua bocah di hadapannya. “Kalo kalian bisa beli anjing yang kakinya tiga (bukan anjing kencing), kalian bedua kakak kasih hadiah.”
“Apa?”
“Kucing lima warna!”
Ina langsung melarikan diri, menjauh dan menghilang secepatnya dari perkumpulan bocil aneh yang berusaha menyerangnya hampir setiap hari. Menghilang adalah ide terbaik.
“Wey, mana ada kucing lima warna!” Protes Priska. Ina masih mendengar sayup-sayup suara Priska menjerit dari kejauhan. Ina cepat-cepat melenyapkan diri masuk ke dalam gerbang sekolah.
Meski dalam pikirannya ia masih penasaran dengan ada atau tidaknya anjing berkaki tiga. Ah, dasar bocil!
Ina masih belum ikhlas sepenuhnya kalau seekor anjing akan datang ke rumahnya hari ini. Ia menganggap dirinya hanya kurang beruntung, usai kemarin sore kalah berdebat dengan dua bocah itu.
Sudah berulangkali ia mengatakan kalau rumah mereka tak butuh dihuni oleh seekor anjing. Satpam di rumah ada tiga, bekerja ship-ship-an, angsa penjaga pagar belakang sudah terlalu banyak, dan hampir semua orang di rumah ini juga galak-galak (apalagi Priska). Dijamin, tak akan ada maling yang berani mendekat.
“Kalau anjingnya rabies gimana? Kalau ada yang digigit anjing gimana? Terus kalo kalian lupa kasih makan gimana? dia akan makan daging kita! Aaaah ...,” alasan Ina. Cewek itu memang tak suka dengan anjing sejak kecil. Entah mengapa ia merasa takut kalau mendengar suara anjing, serasa berada di film-film horor gitu.
Tapi, bocah bermata sipit (Dika) berdalih kalau ia hanya sekadar ingin punya teman bermain yang baru. Dengan wajah memelas ia mengikrarkan janji kalau akan merawat anjingnya dengan baik, memberi makan, mengajaknya bicara, mengajaknya bermain, menyayanginya setiap waktu dan lain sebaginya. Lalu, bocah bergigi tajam (Priska) pun memberikan dukungannya untuk adik tersayangnya itu.
Yang lebih parah lagi Amy tak membelanya sama sekali. Justru ia memilih untuk berada di kubu Dika. “Apa salahnya, sih, sekali-sekali pelihara anjing?” ujar Amy sore kemarin usai memberi makan landak.