BusterBee

Tama Neio
Chapter #17

Part 16

Sebuah aula kantor yang cukup luas menjadi pilihan Ina dan Amy untuk menampung peserta seleksi yang cukup banyak.

“Jumlahnya genap delapan puluh. Ada yang katanya masih di jalan, terus ada yang baru daftar pagi ini,” ujar seorang wanita muda mengenakan blazer abu-abu. Dia sekretaris Seno yang sengaja ditugaskan untuk membantu Amy dan Ina menjalankan misi di hari munggu. Acara yang sebenarnya tak harus terjadi.

“Yang telat dateng kasih nomor urut terakhir!” Amy menyuruh lelaki mengenakan kemeja merah.

Santi merasa kesal, sekretaris Seno itu sesekali menunjukkan ekspresi, ini acara apaan sih? Sumpah, ganggu banget! Gara-gara ini, piknik gue batal, anying!

Santi pikir, kenapa harus repot-repot menyeleksi anak-anak SMA? Kenapa tidak langsung cari yang berpengalaman saja? Editor, kreator berbakat bertebaran di luar sana. Huh, dasar kurang kerjaan!

Sebenarnya Ina sempat menyarankan pada Amy untuk membiarkannya langsung memilih siapa-siapa yang sekiranya bisa bergabung dalam timnya. Karena Chanel Youtube BusterBee ini hanya sekadar komunitas untuk melatih Ina agar memiliki kesibukan lain untuk melupakan masa-masa kelam dalam hidupnya.

“Gak bisa! Mereka harus dites dulu! Kamu mau salah pilih orang?” tanya Amy Minggu lalu. Waktu itu Ina hanya bisa pasrah, karena menurutnya saran Amy ada benarnya juga.

Setelah melihat antusias teman-teman seangkatan Ina yang sangat tinggi, akhirnya mereka memutuskan untuk meminjam salah satu kantor milik Seno yang sedang libur di hari Minggu. Sebuah kantor yang cukup besar dengan desain interior yang menakjubkan.

Amy, Ina, dan Santi sedang berada di sebuah ruangan khusus Seno, ia kadang menggunakan ruangan ini untuk beristirahat. Sebuah ruangan bergaya Coastal yang menenangkan dengan elemen-elemen khas pantai. Cukup luas, dilengkapi dengan rak buku yang menempel pada salah satu bagian dinding. Lantai yang dilapisi karpet Wilton membuat kaki terasa nyaman berjalan di atasnya. Karpet ini begitu lembut, memberi nuansa mewah dan elegan.

Warna putih, cream dan cokelat mendominasi ruangan ini. Amy dan Ina duduk di sebuah sofa yang dihiasi meja kayu jati grade A. Di hadapan mereka sudah disiapkan satu sofa lain untuk kandidat yang akan mereka wawancarai. Sofanya empuk sekali. Santi yakin kalau sofa yang satu itu akan turun kualitasnya setelah acara konyol ini selesai.

Mereka sedang menunggu peserta di aula yang sedang mengerjakan soal-soal psikotes. Sesekali Ina mengamati teman-temannya yang sedang mengerjakan soal di aula kantor yang bergaya Victoria itu. Dengan karpet Wilton cokelat yang menghiasi interior gedung berpadu dengan dinding yang dicat lebih terang ditambah sejuknya udara ruangan menambah kesan glamor aula ini.

Beberapa menit berselang, sudah ada beberapa temannya yang menyelesaikan soal. Mereka harus menunggu di meja bulat sambil menikmati makanan ringan ala hotel bintang lima yang disuguhkan beberapa pelayan kantor.

“Kandidat pertama!” seorang lelaki yang menganakan rompi menyuruh seorang lelaki masuk ke dalam ruangan.

Lelaki berompi hitam itu ikut masuk lalu menyerahkan lembaran kertas berisi jawaban para kandidat kepada Amy. Ina hanya melirik tumpukan kertas itu. Ia sama sekali tak mengerti apa maksud dari semua ini. Tugasnya hanyalah menemani Amy, duduk di sebelahnya dan mengikuti instruksinya.

“Silakan!” ujar Amy, ia menyuruh lelaki bertubuh tambun itu duduk. Santi yang juga ikut menolong mereka meng-interview menjerit di dalam hati, woy! gue mau pikneeeek.

“Mbak Santi ... tolong ceklist biodata kandidat yang sudah di-interview, ya!” suruh Amy.

“Oh, iya ...,” balas Santi dengan menarik dua sudut bibirnya ke atas. Senyumnya itu seakan menunjukkan, ah tenang saja semuanya pasti beres! Walau sejujurnya dalam hati ia ingin sekali memekik dan meronta-ronta.

“Ok, silahkan perkenalkan diri!” seru Amy.

“Terimakasih atas kesempatannya, nama saya Buana Alexander. Saya lahir di ....” Dia memaparkan panjang lebar tentang biodata dirinya. Terakhir dia menyebut kalau dirinya ahli dalam bernyanyi.

“Ahli menyanyi?” Amy yang sedang menilik lembar jawaban psikotest Buana penasaran.

“Iya.”

“Coba kamu menyanyi!”

“Oke ....” Buana mulai menyanyi. Lirik pertama yang dinyanyikannya masih bisa diterima oleh Amy, Ina, dan Santi. Begitu masuk ke lirik-lirik selanjutnya Ina merasa ini adalah mimpi buruk.

“Stop!” seru Amy.

Tapi, Buana masih tetap bernyanyi. “I love you bab—“

“Tolong berhenti menyanyi!”

“Oh ... ok.”

“Selain menyanyi? Ada yang lain?”

“Oh, ada! Saya bisa menghabiskan lima bungkus mi instan dalam sekali makan.”

Amy terperanjat. “Yakin kamu bisa menghabiskan mi instan sebanyak itu?”

“Iya, dong!”

“Tapi ... dalam biodata yang kamu tulis di sini menyebutkan kalau kamu bertekad tidak mau lagi makan banyak.”

Buana kehabisan kata-kata, ia hanya bisa tersenyum.

“Selanjutnya!” teriak Amy.

Pria berompi hitam membawa seorang wanita yang mengenakan blouse pink. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang yang senada dengan warna rok yang ia kenakan, menjadikan ia terkesan ceria dan elegan.

“Hallo, perkenalkan saya Angel Reyes. Biasa dipanggil Angel (baca: Enjel), selain sibuk menjadi selebgram, saya juga merupakan seorang konten kreator. Saya bisa buat feed Instagram yang cantik. Saya juga bisa mengedit video dan membuatnya menjadi lebih berkesan.”

“Oh, ya? Coba kamu jelaskan gimana caranya membuat video yang memorable dan disukai banyak orang!”

Angel memberikan penjelasan dengan sangat baik dan detail. Di mata Ina, ia terkesan friendly, cerdas, dan berbakat.

“Saya memang belum pernah membuat konten YouTube, tapi saya akan belajar jadi lebih baik lagi.”

“Ok.” Amy mengangguk. “Next!”

Seorang wanita bertubuh kurus dengan tinggi di atas rata-rata masuk. Ina terkejut melihat bentuk rambutnya yang cukup abstrak, lebih abstrak daripada rambut Ina yang dulu, saat ia masih melarang dirinya untuk cantik.

Menurut Ina, cewek ini sangat berkarakter. Tapi, menilik wajahnya, sepertinya ia belum pernah melihat cewek ini di sekolah.

“Nama saya Ica.”

“Ica?” Amy dan Ina beradu pandang. Pikiran mereka sama, teringat pada kucing yang baru saja dibeli Amy dua Minggu lalu. Kucing itu sudah semakin lucu dan kian menggemaskan.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Ica.

“Oh, tidak. Silahkan jelaskan keahlian kamu!”

“Keahlian saya membaca pikiran.”

Amy yang baru saja meneguk air mineral hampir tersedak. “What?”

“Membaca pikiran?” tanya Ina.

“Iya ..., bahkan saya tau apa yang barusan kalian pikirkan tentang nama saya yang mirip dengan kucing peliharaan kalian di rumah. Iya, 'kan?” Tatapan Ica terkesan mengerikan.

Ina menginjak kaki Amy. Santi yang semula menatap Ica dengan tatapan aneh, kini mengalihkan pandangannya pada berkas biodata peserta. Dalam hati Santi memohon, plis jangan baca pikiran gue!

“Dan ... dia.” Deg. Ica menunjuk Santi. “Ingin segera pulang! Dia terpaksa datang ke sini.”

Amy dan Ina melirik Santi yang juga melirik mereka berdua. Santi lekas-lekas menggeleng. Ekspresi Santi menunjukkan: enggak ... gue gak gitu, kok! SUMPAH!

Next,” teriak Amy yang lelah menahan pikirannya yang tidak-tidak selama mewawancarai Ica.

“Saya Ardi. Keahlian saya main game ....”

“Saya Siska. Sangat senang berbelanja ....”

“Saya Anna. Saya suka uang ....”

“Saya Aaron. Hobi mengoleksi sabun ....”

Lihat selengkapnya