Udara masih begitu dingin usai hujan mengguyur pagi ini. Rintik-rintik memang sudah reda, tapi langit masih redup padahal sudah hampir jam delapan. Burung-burung yang seharusnya sudah mengudara di atas langit cerah baru menggelar konsernya sekarang, melompat-lompat di cabang-cabang pohon yang menghiasi sudut-sudut taman rumah.
Asih dan Seno sudah lebih dulu pergi sejak pukul enam, mereka rela menerobos hujan lantaran punya acara penting di tempat yang agak jauh. Mereka bilang akan pulang agak malam.
“Mang Udin mana?” tanya Amy, ia baru saja datang dan menarik kursi meja makan.
“Tadi barusan lewat. Maaang ... Maaang ....” Ina memekik.
“Mandi ..., jam delapan pasti dia mandi,” sahut Bi Wati yang datang mengantarkan setoples kerupuk udang.
“Rumput kambing gue udah abis.” Amy menyendok nasi goreng.
Bel rumah berdentang, Bi Wati bergegas menuju pintu depan.
“Ini elo yang masak?” tanya Amy sambil mengunyah nasi.
“Iya lah, lo kenapa gak ikut? Kan kemarin-kemarin lo rajin banget masak.”
“Sandainya gak ujan, pasti gue cepet bangun.” Amy mengigit kerupuk. “Pasti lo diajarin Mama, kan?”
“Iya.” Ina meminum susu.
“Besok gue mau beli ikan baru, buat ngisi akuarium di kamar gueh, sepi, gak asik!”
“Kalo ikan gak masalah, asalkan jangan beli yang aneh-aneh.”
“Astaga ... landak gueh, jam delapan lewat lima!” Amy buru-buru menghabiskan minum lalu bergegas pergi ke halaman belakang.
“Non.” Bi Wati berjalan agak cepat. “Ada temen Non Ina di depan, lima orang.”
“Hah? Udah dateng? Bukannya janji jam sembilan?”
Cepat-cepat Ina menumpuk piring kotor. “Biarin Bibik aja, Non!” titah Bi Wati seraya mengumpulkan gelas-gelas dan peralatan makan yang lain.
Ina menghentikan tangannya yang sudah biasa membereskan piring-piring kotor.
“Oh iya, hari ini Bibik masaknya agak banyakan, ya! Mereka mau diajak makan sini.”
“Siap, Non.”
“Maaf, Bik, Ina gak bisa bantuin.”
“Ah, Non Ina. Itu kan emang udah tugasnya Bibik.” Bi Wati tersenyum lalu mengigit kerupuk.
“Tapi ... Ina pengen Ikut masak ayam geprek. Huaaa ....” Ina bersedih dengan tangannya yang masih berusaha mengelap meja makan
“Udah ...!” Bi Wati menghentikan tangan Ina. “Biarin Bibik yang lap meja. Cepet temuin temenmu di depan!”
Ina mengangguk lalu bergegas pergi ke arah pintu depan. Gadis itu berjalan agak santai, jarak yang cukup jauh antara ruang makan dan pintu depan membuatnya harus sedikit bersabar.
Sesampainya langkah Ina di ambang pintu, lima orang sudah berdiri di teras rumahnya. Semua dari mereka melempar senyum pada Ina.
Yang pertama, seorang laki-laki yang wajahnya sudah sangat familiar. Ia melempar senyum manisnya pada Ina, siapa lagi kalau bukan Hanan Elvano Sabian.
Orang kedua, seorang perempuan yang juga tak perlu ditanya lagi kredibilitasnya dalam merias wajah. Ia juga sangat andal mempromosikan sabun. Aydin Badea.
Orang ketiga, seorang perempuan yang wajahnya belum terlalu familiar karena dia berbeda kelas dengan Ina. Tapi, Ina sangat terkesima dengan pembawaannya yang friendly, smart dan ceria saat Interview minggu lalu. Namanya pun melekat dalam ingatan Ina, Angel Reyes.
Orang keempat, seorang laki-laki. Rambutnya hitam ikal dan terlihat kalem. Menggunakan kaos putih dan celana jeans hitam dengan sebuah arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Senyumnya masih malu-malu. Ina menebak kalau orang ini pasti pendiam. Namanya Mi Lecio Fannan, dipanggil Cio.
Orang kelima, seorang perempuan yang mengenakan jilbab pink. Tubuhnya mungil dan berpipi chubby. Dia mengaku pecinta boneka tapi dia bukan boneka. Dia viral setelah menciptakan sebuah lagu fenomenal. Namanya Key La.
“Hallo semuaaa ...,” sapa Ina.
“Halooo Inaaa,” sapa Key La. “Aku bawak makanan untuk kamu dan untuk kita semua.”
Key La menunjukkan sebuah aura ceria yang menggebu-gebu. Auranya yang membawa keanehan inilah yang membuat Ina terkesima. Key La membawa beberapa kantong berisi makanan.
“Waaah, makanan apa itu, Key?”
“Ini pentol, aku namai Pentol Key. Pentolnya macem-macem. Ada pentol bola pingpong, pentol kerikil, pentol beranak satu, pentol setan, pentol rambutan dan masih banyak lagi pentol-pentol yang lain.”
Semua mata tertuju pada Key La yang sedang tersenyum lebar sampai gigi-gigi putihnya terpampang nyata.
“Kamu jualan pentol?” tanya Aydin. Cewek berambut bob itu penasaran.
“Iyaaa. Di rumah, aku sama Ibuk membuat berbagai macam pentol-pentolan. Jadi, kami jualan pentol.”
“Wah, aku juga sama kayak kamu ... jualan juga. Aku jual sabun. Nanti aku kasih liat barangnya ke kamu, ya.”
“Ehem ....” Hanan batuk. “Ada lagi yang jualan?” lanjutnya.
“Gue enggak jualan.” Cio menggeleng.
“Gue juga enggak.” Angel ikut bersuara, ia tak mau dibilang bisu.
“Pentol di rumahku masih banyak. Aku bakalan buat lebih banyak lagi kalau kalian semua pesen pentol ke aku.” Key sangat antusias membahas pentol dengan sesekali melirik orang-orang di sekelilingnya yang sedang memanahkan pandangan aneh ke arahnya.
“Kira-kira ... ada bahasan lain selain pentol?” Angel mulai merasa risih dengan pembahasan pentol. Menurutnya, membahas pentol hanya akan membuang-buang waktu. Ia melirik arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Angel merasa rugi lantaran dua menit waktu berharganya hilang sia-sia hari ini.
“Ada yang bilang pentol?” Kepala Amy muncul dari balik pintu.
“Aku bawa pentol.” Key menyodorkan kantong besar berisi pentol-pentol.
“Sini!” Amy meraih seluruh kantong berisi pentol. “Masuk!” titah Amy.
Ina membuka pintunya lebar-lebar dan mempersilahkan lima orang itu untuk masuk. Semuanya mulai melangkahkan kaki ke dalam, Angel berada di urutan paling akhir.
Sebelum melangkah, Angel menghela napas berat. “Oke ... ini adalah tim yang sangat menyenangkan.” Sudut bibirnya ia tarik ke atas.
“Ada yang jualan pentol, ada yang jualan sabun ....” Angel terus merutuk selama ia berjalan mengekori orang-orang di depannya. “Gue jualan apa, ya? Aaa ....”
Angel memekik dan berlarian menuju sebuah meja di pinggir yang di atasnya ditaruh sebuah lampu Aladin berwarna emas.
“Itu kenapa, ya?” Amy bertanya untuk memastikan keadaan Angel baik-baik saja. Ina dan yang lain ikut menoleh ke belakang.
“Ini! Teko emasnya Aladin?” Angel terlihat antusias.
Amy mendekat. “Oh ... Iya itu memang lampu Aladin, itu terbuat dari emas murni ... seratus persen emas murni.” Amy menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf O.
“Ow, gue penggemar barang antik dan penggemar Aladin.”