Usai menjemur pakaian, Ina menyempatkan diri untuk bersantai sejenak di atas rumput Jepang yang permukaanya masih diselimuti embun. Embun-embun yang mengudara di penghujung malam mulai berjatuhan ke wajah bumi tat kala mentari mulai mengintip dari ufuk timur. Sebelum sisa pagi benar-benar lenyap, Ina pikir tak ada salahnya duduk-duduk di tengah-tengah halaman yang dipenuhi rumput sembari mengagumi ciptaan Tuhan yang fana ini.
Sebelum Amy mulai datang lalu menyuruh-nyuruhnya sambil marah-marah karena ia tak becus menyikat bulu domba atau kurang ramah dengan kambing peliharaannya, ada baiknya ia menenangkan pikiran dulu.
Ia menarik napas dalam-dalam. “Huh.” Ia mengembuskannya dengan lembut. Kakinya lantas ia selonjorkan di atas rumput. Dan ....
SAT
“Aw,” jerit Ina yang tertahan.
Ina merasakan lehernya tercekik. Sebuah lengan manusia telah mengapitkan lehernya hingga tengkuknya menempel di dada orang yang ada di belakangnya. Ini jelas sebuah ancaman.
Cepat-cepat Ina memukulkan ujung siku sebelah kanannya pada perut orang di belakangnya beberapa kali sampai dia kesakitan.
BAK BUK DEBAK DEBUK
“Arrgghh,” rintihnya. Orang itu langsung melepaskan cengkraman lengannya dari leher Ina.
Lekas-lekas Ina berdiri dan mendapati Angel sudah terduduk di hadapannya. Belum sempat Ina membalas serangan Angel, seseorang telah menodongkan senjata di samping kepalanya.
HAP. Dengan gerakan secepat kilat Ina meraih pergelangan tangan orang itu lalu mengarahkan senjatanya ke arah lain seraya badannya berbalik ke samping lalu tangan sebelahnya meninju perut wanita itu dengan kuat hingga ia membungkuk dan menendangnya sekali lagi menggunakan dengkulnya sampai wanita itu merintih kesakitan.
BRAK
Ina menepuk-nepuk pergelangan tangan wanita itu yang sedang memegang senjata, ia layangkan pukulan bertubi-tubi sampai senjata itu terlepas dan dapat Ina raih.
Kali ini, Ina yang berbalik menodongkan senjata kepada wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah Aydin.
Dari kejauhan Angel bertepuk tangan. “Gila, Sista ... boleh la ilmu krav maga-nya.”
“Jangan merendah lah, lo juga hebat tadi apalagi Aydin.” Ina melirik Aydin yang sedang melepas body protector yang melindungi bagian depan tubuhnya.
“Kita semua hebat. Skor kita satu sama,” balas Aydin.
Ina dan Angel juga melepas body protector yang melekat di badannya. Dalam pikiran Ina, ilmu bela dirinya masih sangat jauh daripada Angel dan Aydin. Kalau boleh kasih nilai, Ina mau memberi Angel nilai delapan koma lima dan Aydin ia kasih sembilan. Sedangkan ia sendiri tujuh koma lima lebih sedikit.
HUAAA ....
Dari kejauhan mereka bertiga dikejutkan dengan suara seorang wanita yang sedang menangis. Itu adalah Key La.
“Kenapa kambingnya harus disembelih? Padahal lucu.” Key La terharu saat mendengar Amy memerintahkan Mang Udin untuk menyembelih seekor kambing berwajah keriput.
“Loh kok lo yang nangis? Ini kan kambing gueh ..., ya terserah gue lah.”
“Tapi kan yang ini lucu!”
“Yang ini paling tua dari yang lain, kalau dia kelamaan idup entar dagingnya alot, Key La!”
“Emang mau diapain, sih?”
“Dibuat kambing guling!”
“Kambing guling?” Pikiran Key La mulai melanglang buana ke angkasa. Memikirkan bagaimana kambing ini bisa sampai berguling.
“Udah Mang, langsung bawa aja ke sana!” titah Amy pada Mang Udin. Amy menunjuk ke arah rumah Pak Bambang.
Mang Udin yang memasang wajah linglung lantas menarik tali yang melingkar di leher kambing itu untuk dibawa dan diikat di bawah pohon jambu dekat rumah Pak Bambang.
“Mang, ayam yang obesitas kemarin jangan lupa sembelih pagi ini, buat lauk siang!”
“Sembelih Ayam? Ayam yang mana? Aku belum liat ayamnya yang mana?” tanya Key La, seolah-olah ia adalah pecinta hewan sejati yang akan murka apabila melihat hewan-hewan lucu disakiti. Sungguh, ia sangat tak tega menyiksa binatang.
“Ah, udahlah panjang cerita sama lo.” Amy berlalu meninggalkan Key La sendirian di dekat kandang kelinci. Tak butuh waktu lama, Key La kembali tersenyum usai meraih kelinci putih yang baru keluar dari dalam kandang.