Demi Ina, Amy mengurungkan niatnya untuk berangkat ke Kalimantan. Ia sudah membicarakannya pada Seno. Papanya itu mengiyakan dan mengerti atas kondisi Ina yang sedang membutuhkan Amy. Seno bilang, untuk posisi Asisten Manajer HRD perusahaan batubara di sana akan ia diberikan dulu pada orang lain.
Maka, di sinilah Amy sekarang, di sebuah kamar yang berhiaskan bunga aster di ambang jendela. Ia ditemani oleh Asih, mereka duduk di pinggiran ranjang sambil memegang sebuah mangkuk berisi sup hangat kesukaan Ina.
“Ina ...,” sapa Asih dengan sangat lembut sambil menyentuh bahu Ina. “Pagi tadi kamu nggak sarapan, lho. Masak dari dua hari kemarin cuma makan siang doang. Kan, biasanya makan tiga kali sehari. Pokonya malem ini harus makan.”
Asih menyendok sepotong kentang dan wortel lalu hendak menyuapkannya pada Ina yang sedang bersandar pada head board ranjang.
“Ina ... makan dong, itu masakan gueh. Masak lo gak mau makan. Ayo la ....” Amy mendekati pergelangan kaki Ina lalu memijatnya pelan. “Nih, sambil gue pijitin. Makan ayok!”
Ina menoleh ke arah Asih, ia mengambil mangkuk yang dipegang sang Mama. Pelan-pelan ia melahap sup hangat itu sambil sesekali mengingat nama Tuhan, ia berharap pikirannya kembali tenang dan kembali normal.
Setelah kemarin sempat kembali syok dengan beredarnya video yang direkam Angel, Si Pengkhianat. Video itu viral dengan ribuan komentar yang kian membuat Ina menjadi down. Ina merasa menjadi manusia yang paling kacau, lebih kacau lagi saat mengetahui jika yang menjadi trending satu di YouTube itu adalah video Piyan yang sok bijak mengomentari dirinya dan Hanan.
“Semuanya udah terjadi.” Asih mengusap lembut kepala Ina. “Gak boleh dipikirin terus. Kan, Ina sendiri pernah bilang ke Mama, ingin fokus ke masa depan, untuk masa lalu ambil saja pelajarannya!”
“Gue gak abis pikir kalo dia sejahat itu.” Ina menatap Amy dengan memasang ekspresi kecewa. Ia sudah menceritakan seluruhnya tentang kebusukan Angel pada Amy pagi kemarin, sebelum video dirinya dan Hanan viral di media sosial.
“Udah, maafin aja si Angel. Ina doain supaya dia cepet sadar. Besok atau lusa kalian buat video penjelasan, kasih tau semua orang kalau video itu memang benar kalian yang buat. Dan akui saja kesalahan kalian dan jadikan masalah ini pelajaran buat kalian ke depan!”
“Dan buat janji juga kalo kita bakal bikin konten yang lebih baik,” tambah Amy dengan satu kedipan mata.
Ina mengembuskan napas, hatinya membenarkan saran dari Asih dan Amy. Ia juga akan mengambil pelajaran dari kejadian ini. Sebuah pelajaran yang menyatakan bahwa dirinya masih lemah.
“Buk, ada tamu.” Tiba-tiba Aunty muncul di depan pintu kamar yang terbuka.
Asih mengangguk. “Lanjutin makan, ya! Mama ke bawah dulu.” Asih sekali lagi mengecup kening Ina. “Amy ... kamu jangan lari!”
“Ya enggak lah, Mam.” Amy terkekeh.
“Kamu kan suka gitu, dari kecil hobinya tiba-tiba ngilang, pas dicariin udah di kandang ayam.”
Amy cekikikan saat Asih mencubit pinggangnya yang gempal.
Ina tak bisa menahan senyum saat mendengar Amy tertawa, tawanya beda, senyumnya beda, sangat berbeda, ada rasa geli dalam dada Ina setiapkali Amy tertawa.
Ia jadi ingat masa kecilnya dulu, Amy sering menjadi korban kemarahan Mama hanya karena seekor anak ayam yang ia bawa menakuti Ina lantas membuatnya menangis. “Lo liat kan ... betapa gue dituntut untuk melindungi elo. Dan ... Lo tau gak? sebenernya waktu lo kecil, gue sering nyuruh lo buat nyubit Aunty Nunung. Dan ... Aunty gak mungkin marah, dong. Tapi gue puas.”
Ina langsung melemparkan bantal kecarah Amy. “Sebenernya ada apa sih antara lo sama Aunty Nunung? Dari gue kecil sampe sekarang gak pernah akur.”