BAK BUK
Kecepatan Ina memukul karung tinju semakin meningkat. Gerakannya kian gesit melayangkan tinjuan beberapa kali hanya dalam tiga detik.
Untuk pertama kalinya ia bertinju dengan rambut pendek bergaya Blunt Bob yang rata di bagian bawahnya. Anak rambut itu mulai basah, napasnya semakin memburu. Meski sudah hampir lima belas menit ia melayangkan pukulan juga tendangan pada sarung tinju, ia masih belum menyerah juga. Justru ia makin semangat saat membayangkan sarung tinju di hadapannya ini adalah kumpulan wajah orang-orang yang sangat ingin ia hadiahi piring cantik.
BAK BUK. Rambut pendeknya ikut berguncang, matanya kian tajam dan fokusnya mulai terlatih untuk menentukan bagian mana yang harus diserang. Gigi-gigi gerahamnya ia rapatkan, sehingga rahangnya terlihat semakin tegas.
“Ok, stop!” titah seorang wanita yang Ina panggil Mbak Dewi. “Pemanasan udah, sekarang lanjut krav maga, okeh!” Wanita itu mulai mengambil ancang-ancang.
Tap tap tap. Langkahnya terdengar mengerikan. Ina menangkap gerakan Dewi yang ingin mendorong tubuhnya dengan sebuah tinjuan sampai akhirnya akan membuat Ina tersungkur. Ina segera mengepalkan dua tangannya dan mengambil posisi seolah-olah akan menyerangnya balik dengan tinjuan. Saat Dewi semakin dekat. SAT. Ina mengelak ke samping seraya memukul tangan Dewi yang telah kehilangan keseimbangan, cepat-cepat ia cengkram dagunya lalu ia campakkan punggungnya ke lantai yang dilapisi matras. BRUK.
Ina langsung membantu pelatihnya itu untuk bangkit lagi. “Ok, next!” teriak Dewi, ia senang dengan anak didiknya yang satu ini, sangat cepat menyerap ilmu yang ia ajarkan.
Kali ini Dewi berdiri tak jauh dari Ina, secepat kilat ia melayangkan sebuah tinjuan ke wajah sang murid. Hampir saja menubruk wajah gadis itu, beruntungnya Ina cepat menghindar dan segera membuang pukulan itu dengan menepuk lengan yang dilayangkan Dewi lalu menutupi wajah Dewi dengan telapak tangannya untuk mengalihkan pandangan Dewi ke samping, kemudian cepat-cepat Ina memukul dagu bagian sampingnya hingga Dewi mundur beberapa langkah.
Tentu saja pukulan yang dilayangkan Ina tak membahayakan sang pelatih.
KELOKAK. Tanpa Ina sadari, sebuah pistol sudah ditodongkan oleh Dewi di tengah-tengah dahinya. Ina akui kalau dirinya lengah karena terlalu asyik membenahi kain yang membalut telapak tagannya.
BRAK. Ina segera menepis tangan Dewi yang menodong pistol lalu menarik tubuh Dewi mendekat, lagi-lagi ia menutupi wajah Dewi, ujung pistol Ina arahkan jauh-jauh, saat akan membanting tubuh Dewi ke matras, Ina tak menyadari kalau telapak kaki Dewi telah mengunci pergelangan kakinya. Ina terjatuh ke matras dengan leher tercekik dan dahinya kembali ditodongkan pistol oleh Dewi.
“Okeh, cukup! Udah dibilangin jangan lengah!” Dewi bangkit lalu mengambil lap untuk mengeringkan keringatnya.
“I know it.”Ina bangkit dengan perasaan menyesal.
“Eh, Ina!” tubuh Amy tiba-tiba muncul dari pintu ruang latihan beladiri yang menganga. “Buruan mandi! mereka udah dateng.”
“Okeh.”
“Mbak Dewiii ..., kok latihan gak ngajak-ngajak gueh? Takut gue tindihin, ya?” canda Amy yang melihat Dewi sedang ngos-ngosan.
“Sini lo! Gue banting, mau?”
“Ampun, Buk!” Amy cekikikan. “Ke meja makan, Mbak! Udah ditungguin Mama.”
“Iya iya, bentar lagi, ya.”