“Willi?” Ina yang matanya terkulai langsung bangkit dari pembaringan, ia mendekati Willi yang berdiri di ambang pintu markas BusterBee.
“Elo, kok ... keluar kamar ..., Eh, maksud gue, ayok sini! Duduk dulu.”
“Will,” sapa Hanan yang matanya masih sayu. Ia mengajak Willi untuk duduk di sofa.
Amy yang ruhnya hampir saja melayang langsung duduk saat mendengar Ina menyebut nama Willi. Baru kali ini adiknya itu datang ke markas BusterBee, meski markas ini sudah lama dibuat.
Sekarang Willi sudah semakin lancar berjalan. Walaupun ia diharuskan tetap mengambil homeschooling saat menginjak masa putih abu-abunya. Amy merasa iba melihat sang adik yang kehilangan masa-masa indah bersama teman-teman di sekolah.
“Gue mau minta bantuan.” Willi menatap Amy dan Ina secara bergantian.
“Apa?”
“Tolong anterin gue ke panti asuhan tempat gue diambil!”
Amy yang belum sepenuhnya membuka mata langsung melotot. Ina membeku.
***
Mobil silver metalic yang dikendarai Amy berhenti di depan sebuah panti asuhan. Suasananya lengang, hanya terdengar bunyi kendaraan lalu lalang juga desiran angin yang menyapu dedaunan kering di halaman. Mungkin penghuni panti ini semuanya lagi tidur siang.
Tak ada pilihan, mereka bertujuh langsung masuk ke pintu yang menganga. Seorang wanita paruh baya berkacamata sedang membaca buku. Mungkin karena matanya yang mulai rabun dan pendengarannya yang sudah lemah membuatnya tak menyadari kehadiran Willi dan yang lain.
Wanita itu menyandar di sebuah sofa usang. Kepalanya terkulai lemah di sandaran sofa. Seperti sangat menikmati isi buku yang dibacanya itu. Saat beberapa langkah mereka mendekat barulah wanita itu menoleh.
“Eh ... ada tamu.” Suaranya parau. Ia melipat halaman buku yang terakhir ia baca lalu menutupnya. “Ayo, sini!” Ia menunjuk sofa di sebelahnya yang muat dua orang. Amy segera mendekat kemudian disusul Willi yang juga duduk.
“Hallo, Ibu. Saya Amy. Ibu namanya siapa?”
“Oh, saya Elli. Ada perlu apa, ya? Ini rame banget.” Wanita itu terkekeh dan sesekali terbatuk.
“Ok, Bu Elli. Maksud kedatangan kami ke sini mau nanya perihal data anak yang pernah diasuh di sini. Jadi, ini adik saya Willi, orangtua kami mengadopsiya dari sini, Bu. Kira-kira data dari orangtua kandungnya masih ada tidak, ya?”
Wanita tua itu agak memiringkan kepalanya memandangi Willi di sebelah Amy. “Siapa namanya?”
“Willi Warner.”
“Nama itu tidak berubah kan sesudah diadopsi?”
“Oh, enggak,” jawab Amy. Yang Amy tahu, hanya nama Ina yang diubah oleh Mama dan Papa.
“Miraaa ....” Ibu Elli memanggil seseorang. “Mir.”
Seorang wanita yang rambutnya digelung datang tergopoh-gopoh. Amy dan Willi diajaknya melihat berkas-berkas Willi. Semua berkas lengkap, sebuah fakta mengatakan kalau Willi dibuang di selokan. Ibu Elli tiba-tiba ingat sesuatu hal tentang Willi.
Ia bercerita tentang Willi yang masih kecil mempunyai cacat di kedua telapak kakinya, telapak kakinya sedikit bengkok. Amy sudah pernah menceritakan itu pada Willi, agar adiknya itu bisa berdamai dengan Papa dan Mama yang telah susah payah mengobati kakinya hingga normal seperti sekarang.
“Data orangtua kandungmu memang tidak ada, Dik,” jelas Mira. “Yang ditemukan juga waktu itu hanya kertas ini.” Mira menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan nama kepanjangan Willi.