“Udah, Pa! Gak usah dikasih!”
“Aku juga baru tau kalau dia orangnya kayak gitu, Ma.”
“Kalau baru sekali ngutang masih maklum lah. Ini udah dua kali. Dua tahun yang lalu pinjam sembilan M, tahun kemarin pinjam lima M. Semuanya belum ada yang balik ke kita, sepeser pun. Dan ... Ini mau pinjam lagi?” Asih mendengkus kesal.
“Iya, Ma. Papa nyesel juga udah bantu. Ya, namanya juga temen, gak enak lah kalo gak bantu.”
“Taun lalu Mama masih ingat lho, Pa, janji dia mau lunasin seluruh utangnya awal taun ini. Sampai sekarang mana?”
“Wajar aja, sih kalo dia bangkrut terus. Manajemen keuangannya kacau. Dulu, perusahaan dia bisa jaya berkat manajemen istrinya yang bagus.”
“Udah berapa kali, sih, dia tuh punya istri?”
“Dua. Tapi cuma punya satu anak dari istri nomor satu. Istri yang keduanya itu emang bagus kinerjanya, Papa tau, soalnya pernah kerjasama juga dengannya. Tapi, sayang hidupnya berakhir tragis.”
“Sampai sekarang gak ketahuan siapa pembunuhnya? Padahal, secara logika rumah sebesar itu harusnya pasang CCTV.”
“Banyak rumor juga, sih, kalo dia tu psikopat.”
“Aduh, amit amit, deh. Ih, Mending Papa jauhin dia mulai dari sekarang. Masalah utang udah ikhlasin aja. Kalo mau balikin ya kita terima, kalo enggak juga ya silakan. Kalo mau ngutang sekali lagi, no no no. Jangan harap!”
“Emang edan si Guntur itu. Makin ke sini makin edan.”
“Papa denger, kan? Gak usah dipinjemin lagi!” Kalimat Asih penuh penekanan.
“Iya iya.”
Saat Seno dan Asih akan membahas topik lain mengenai bisnis mereka. Tiga anaknya datang menghampiri mereka di ruang keluarga.
“Mamaaa ... Papaaa ...,” sapa Amy, suaranya melengking.
“Gimana sukses acara makan-makannya?” tanya Seno.
“Sukses, dong, Pa,” jawab Ina.
Willi langsung berlari ke tempat Asih. Lantas ia duduk di sofa dan langsung memeluknya. Tentu saja Asih kaget. Wanita itu langsung balas memeluknya. Asih melirik Amy dan Ina secara bergantian, ia menaikkan dua alisnya kemudian memasang ekspresi, ini si Willi kenapa, sih?
Ina dan Amy hanya bisa cengar-cengir. Seno yang tadinya asyik menonton TV, kini fokus memandangi Willi yang tiba-tiba kembali melakukan kebiasaan lamanya yang suka memeluk Asih.
“Willi bilang ke Amy kalo dia saaayang sama Mama Papa,” ujar Amy seraya merentangkan tangannya lalu ikut berpelukan dengan Asih, kemudian diikuti Ina dan terakhir Seno.
Malam itu ruang keluarga mereka kembali ramai dan kembali hangat. Senda gurau yang telah lama hilang kini muncul lagi di tengah-tengah keluarga mereka. Lukisan keluarga yang sempat robek kini sudah dijahit dan menyatu lagi membentuk sebuah gambar jalinan keluarga yang kembali utuh dan indah.
***
Tak sulit bagi mereka untuk meminta izin pada Seno dan Asih agar diperbolehkan membajak sementara restoran kelas elit miliknya untuk membuat puluhan anak panti asuhan tersenyum.