Irisan Pertama
s a l a m
═════════════════
Tahun 2Q48
❞ Apa bumantara masih semerah bata macam di pertemuan kita?
Atau sudah teduh membiru macam di buku sejarah? ❞
Bagaimana mulanya pun ia sendiri tidak ingat. Tahu-tahu sang puan jadi punya kebiasaan sendiri panas-panasan menatap langit tiap hampir tengah hari. Mau musim hujan atau musim kemarau, penampakannya yang duduk-duduk gemulai di serambi tak absen barang sehari.
Padahal, awal kemarau begini bumantara teriknya bukan main. Di bawah terik menyengat begitu pun, ia malah dibuat tertawa-tawa sendiri, tatapnya macam menyuara, 'Bakar sajalah aku! Barangkali kalau mati hangus, rambutku yang putih-putih ini bisa jadi hitam lagi!'
Sinting barangkali.
Sebetulnya, inginnya itu sederhana. Ia hanya ingin menjawab pertanyaan tak bertuan yang selalu muncul dalam benaknya. Entah siapa yang bertanya, entah kapan, entah di mana pula dengarnya.
❞
Hari ke sembilan ribu seratus...
—duh,sudah seratus lebih berapa?
Lupa lah. Nanti kulihat lagi
catatanku. Pokoknya langit
sedang bagus, malam-malam
pun tak lagi memerah. Awal
kemarau begini bisa-bisanya jadi
lebih biru. Sampai lupa aku
kalau dulunya pernah tak
punya warna.
❞
Habis bicara begitu dalam benak, dia tertawa lagi. Betulan sinting rupanya.
Bukannya melebih-lebihkan, tapi ia memang betulan lupa kalau dua puluh tahun lalu langit siang itu tak punya warna—meskipun agak kurang tepat juga, putih itu masih dianggap famili warna-warnaan 'kan?
Terserahlah. Untuk apa pula dibuat pusing pasal famili warna-warnaan.
Intinya, kabar langit betulan membaik sejak kepergian sepertiga penghuni bumi dua puluh lima tahun yang lalu. Yang bahkan setelah sembilan ribu seratus sekian hari pun belum terjamah lagi kabarnya.
Entah sedang bercanda sambil makan siang di atas tanah asing, atau sudah bertahun-tahun jadi debu kosmik. Entah sedang menikmati kopi susu sambil baca koran, atau kemungkinan paling fiktif sedang adu catur dengan alien.
Entah sedang hidup, atau sudah bertahun-tahun mati.
Stasiun televisi internasional juga belum menggembor-gemborkan kabar apapun. Antara gengsi mengakui kegagalan umat manusia terbesar abad ini, atau masih betah memelihara harapan yang sudah sekarat begitu.
"Tik, ini."