Irisan Kedua
puan yang sulit mati
═════════════════
Tahun 2Q23
Ia harus siap-siap pukul empat pagi nanti. Sekarang sudah hampir pukul dua, dan ia mulai mempertimbangkan ide untuk tidak tidur saja semalaman. Toh, tugasnya masih menumpuk. Papan tulis dua kali tiga meter di dinding pun sudah penuh, sudah tidak muat untuk ditambah barang selembar post-it lagi. Isinya tak jauh, berputar pada pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum kalendernya bergulir ke bulan sebelas.
Lagi-lagi begitu. Helaan napas dalam-dalam jadi penutup dari tatapan panjangnya pada papan itu.
"Untuk apa teknologi diciptakan kalau kamu masih buang-buang kertas begini, Tik?"
Detik tidak perlu repot-repot memutar bahu untuk tahu siapa yang komentar barusan. Si pemilik suara bariton yang paling ia hafal seantero gedung agrikultur milik asosiasi.
"Harus berapa kali kubilang, Zam? Kalau tugas-tugasku direkam pakai hologram, malah semakin malas kukerjakan. Seharian penuh lihat hologram saja mataku pusing, apalagi harus mendaftar pekerjaan-pekerjaan itu pakai hologram. Mataku ini kampungan, Zam."
Detik akhirnya menoleh di ujung kalimatnya, berhubung si lawan bicara tidak kunjung melangkah mendekatinya dan mulai mengacak-acak mejanya seperti biasa. Yang ia dapati hanya Zaman, dalam setelan serba abu-abunya sedang bersandar di ambang pintu, dengan kaki menyilang dan raut yang selalu gagal Detik tebak maksudnya.
"Tumben enggak ke atap? Biasanya kamu meracau sambil berencana bunuh diri di sana."
Lelucon paling gelap tahun ini.
Bukan metafora, memang begitu adanya. Makanya ia tahu, sarkasme yang baru ia ucap tak akan menyinggung perasaan sang puan. Intinya, Zaman sedang enggan bahas soal daftar tugas milik si puan lagi. Ia tahu, itu cuma buat juniornya lebih pusing, lebih ingin mati lagi.