Irisan Ketiga
usaha membuat nyata yang mustahil
═════════════════
Belum tepat jarum pendek melurus di angka enam, Balairung Agung sudah dibuat sesak bukan main. Dari dulu Zaman heran sendiri, memangnya datang lebih pagi dari yang lain itu supaya apa, sih? Supaya departemen mereka kelihatan lebih rajin? Lebih disiplin dari departemen lain?
Toh kalau betul alasannya macam yang mereka ucap, "Supaya dapat bangku yang nyaman, tahu?" —Ya Tuhan, gedung Balairung Agung itu gedung paling eksklusif dari seluruh gedung-gedung canggihnya asosiasi. Sudah diatur juga tiap-tiap lantainya diperuntukkan untuk satu departemen, jumlah bangkunya sudah sesuai jumlah anggotanya, sama pula empuknya. Layar besar-besar juga dipasang kalau tak ingin terlewat satu momen pun yang terjadi di podium.
Apa lagi yang dicari?
"Wah. Bisa-bisanya kamu baru datang jam segini, Zam."
Lihat? Memangnya Zaman salah kalau datang sepuluh menit sebelum jam enam?
"Bangku-bangku belakang pasti sudah penuh Zam, mau enggak mau kamu duduk di bangku jajaran depan."
Perempuan yang baru berpapasan dengannya itu melanjutkan sebab melihat respon Zaman. Bingung, merasa tak punya salah apa-apa. Lagipula, puan yang satu ini tampaknya juga baru tiba. Ia sama-sama terlambat menurut perhitungan waktunya sendiri.
"Masih belum paham rupanya. Kalau kamu duduk di jajaran depan, nanti yang ada muka kamu lagi tahan ngantuk yang muncul di layar, Zam. Pengarah kamera akhir-akhir ini butuh hiburan. Tapi, bukan masalah sih, untungnya muka kamu memang menyenangkan dilihat Zam."
Oh. Begitu.
Zaman hanya menyipitkan matanya sambil menoleh sebentar, kemudian membetulkan kacamatanya yang sebetulnya tidak kenapa-napa. Langkahnya melambat, menyamai tempo sang puan agar berjalan bersisian, dan memilih tak ucap apa-apa sambil meneruskan langkah memasuki lift. Zaman tekan angka tujuh untuk sang puan dan angka delapan untuk dirinya.
Bangku Departemen Klimatologi-Meteorologi ada di lantai tujuh, sedangkan Departemen Agrikultur di lantai delapan.
"Dia enggak datang?"