Irisan Kelima
si tengil tiga sembilan dua
═════════════════
Detik akhirnya pilih menerima undangan si lelaki tengil untuk mengunjungi rumahnya. Bukan karena ingin lihat gajah, tentu saja. Membayangkan harus menghabiskan bermenit-menit menunggu di luar rumah saja sudah buat bosan. Malas juga kalau ia harus kembali ke ruangannya. Atau apalagi, menyusul ke Balairung Agung dan menonton pelantikan, duh. Bisa dibilang, pilihan yang agak lumayan untuk ia ambil sekarang hanyalah menerima ajakannya.
Detik pilih mengekor tanpa mengucap barang sekata. Oh, memang dari dulunya begitu, Detik ini memang irit bicara, kecuali di hadapan Zaman. Lagipula, ia malas juga harus repot-repot buang energi untuk membangun konversasi dengan si tengil yang banyak bicara ini.
"Hari ini adikku ulang tahun omong-omong. Dia bilang, dia mau menyombongkan hasil latihan nyanyi dia dua bulan terakhir. Dia sampai mengamuk waktu tahu aku harus berangkat sebelum hari ulang tahunnya."
Detik menatap lama punggung sang adam yang baru bicara panjang lebar tanpa diminta. Sampai si pemilik punggung berbalik, membuat Detik terhenyak sedikit. Padahal niat si lelaki hanya untuk mempersilakan Detik masuk pekarangan rumahnya, bukan membuatnya terkejut begitu.
"Memujinya jangan dalam hati."
Detik dibuat mengerutkan kening mendengar kalimat tak terduga begitu.
"Kenapa? Aku tebak, tadi kamu baru memuji dalam hati, dan bilang 'Wah, lelaki tampan di hadapanku ini seorang kakak yang baik rupanya.' Begitu, 'kan?"
Detik dibuat sadar lagi akan satu hal. Selain tengil, lelaki ini tingkat narsistiknya sudah membelah langit. Bukannya mempersilakan masuk, si lelaki kini menghalangi jalan Detik dengan tubuhnya yang sudah sempurna menghadapnya. Tanpa celah, entah memang bahunya yang selebar itu atau gerbangnya yang terlalu sempit.
"Jadi, sebelum kamu berprasangka baik tentangku lebih jauh, biar kuluruskan. Di dunia ini, mana ada kakak baik-baik yang mendukung adiknya buat hidup dengan sombong. Tapi, aku mendukung cara hidupnya yang begitu. Makanya, untuk mendukung gaya hidup sombongnya itu, aku mau lihat sesombong apa dia hari ini."
Detik cuma berdecak samar setelah mendengar kalimat panjang barusan, kemudian dibuat membatin sendiri, 'Dia ini sedang meracau atau apa?' Sedangkan si lelaki tengil buru-buru berbalik setelah menyelesaikan kalimatnya, melanjutkan kembali langkahnya.
Hubungan kekeluargaan seperti ini sudah di luar pengetahuannya. Detik sama sekali tidak tahu rasanya macam apa, disuruh membayangkan pun mana terbayang. Sesuatu yang niskala dan abstrak macam perasaan manusia sama sekali bukan keahliannya.
Si lelaki membuka pintu bercat putih di hadapannya, decit pelannya ketika didorong membuatnya mengernyit sedikit. Langkahnya ia teruskan melewati ruang tamu, hingga sampailah keduanya di ruang tengah, di mana semua anggota keluarga sedang berkumpul. Ramai sekali, melingkar sambil bercanda dengan satu sama lain, tidak tahu kalau dua penyusup baru saja bergabung di sana.