Irisan Ketujuh
surat pertama
═════════════════
Tahun 2Q48
Selembar surat itu masih membisu di tangannya. Derai di wajahnya memang mereda, namun kemelut di hatinya siapa yang tahu.
Kepalanya agak pusing. Separuh sebab tergugu menangis, separuh sebab umur. Ah, tidak. Persetan pasal umur, pusing kepalanya itu murni sebab menangis. Sebab baru luluh lantak dunianya itu. Sebab kecewa dengan isi kepalanya sendiri, bisa-bisanya melupa pasal si lelaki yang pernah menjadi dunianya, memantik debar menyenangkan dalam relungnya. Pernah, dan barangkali masih.
Puluhan menit ia dibuat membisu. Sedang mencoba berdamai dengan maunya Tuhan. Sedang menahan diri agar tak memaki Tuhan seperti pinta sang lelaki lewat suratnya. Sedang merendah agar barangkali Tuhan mengiba. Lalu sang lelaki akan muncul dari balik pintu macam mukjizat.
Sudah. Jangan mengada-ada. Nanti betulan gila.
Punggung tangannya tergerak, menyapu bekas tangis yang sudah mengering. Kemudian ia bangkit dari ranjangnya, melangkah lemah menuju meja nakas di sudut kamar. Tangannya terulur meraih laci pertama, menampilkan setumpuk kertas ketika ditarik.
Keenam surat yang ditinggalkan sang lelaki, tepat di hari kepergiannya.
Sengaja ditaruh di laci paling atas agar mudah dicari, agar mudah digapai, agar mudah diingat. Berhubung intensitas merindukan sang lelaki cukup sering, sedangkan kemampuan kepalanya untuk mengingat semakin buruk tiap harinya. Hari ini ingat, esok lupa bisa jadi asing. Sang puan sudah lama membenci dirinya sendiri sebab ini.
Seluruhnya ia ambil kertas-kertas itu, lalu kembali duduk di atas ranjang, hendak bernostalgia lebih lama. Hendak berduka lebih lama. Biarlah hari ini air matanya dibuat habis sekalian. Toh belum ditemukan kasus manusia mati sebab kebanyakan menangis.
Barangkali, esok ketika terbangun, sang puan sama sekali tak ingat lagi pernah menangis sepilu ini.
═════════════════
Kutoreh dengan gugup
pada awal tahun 2Q21.
Sebab ini pucuk surat pertama
yang akan jadi impresi.