Irisan Kesepuluh
undangan
═════════════════
Pemandangan Zaman yang muncul dari balik pintu ruang kerja Detik sudah lazim sang puan saksikan. Sedangkan hal sebaliknya bagi Zaman, kemunculan Detik di balik pintu ruang kerjanya cukup untuk membuatnya menerka-nerka sendiri hal darurat apa yang sampai membuat si puan repot-repot melangkahkan kaki keluar dari ruangannya.
"Sibuk, Zam?"
"Sedikit."
"Mau kubawakan makan siang?"
Wah. Kacau.
Zaman semakin khawatir ada yang salah dengan Detik hari ini.
"Jangan aneh begitu. Kamu yang biasanya serba praktis—cuma makan pil nutrisi buat makan siang—tiba-tiba makan nasi begini bikin aku takut."
Enggan berdebat, Detik membolakan kedua matanya sebagai salam pamit undur diri. Melihat Detik yang benar-benar meninggalkannya, mau tidak mau kedua tangan Zaman dibuat buru-buru mematikan layar hologramnya dan menyusul sang puan keras kepala yang nyaris hilang di belokan pertama. Dengan kepala penuh tanya, Zaman hanya mengekori Detik tanpa banyak bicara.
Memang badannya dari dulu mungil begitu, tapi bukannya Detik tidak suka makan. Kalau Zaman bawakan makanan dari kafetaria pun Detik suka habiskan. Intinya, ia malas saja buang-buang waktu dan energi untuk jalan ke kafetaria. Menenggak sebutir pil nutrisi itu lebih praktis, cukup sebutir, dan energinya cukup untuk setengah hari.
Makanya, melihat fenomena tadi, yang terlalu sibuk untuk makan tiba-tiba menawarinya untuk titip makanan dari kafetaria terlalu tidak wajar bagi Zaman.
"Zam, kafetaria memang seramai ini ya?"
Senang karena akhirnya diajak bicara, Zaman buru-buru menyamai langkah Detik, berjalan bersisian. Kedua tangannya kini terlipat, kemudian ia mengangguk mengiyakan.
"Setidaknya separuh penghuni gedung utara makan siang di sini, Tik. Separuhnya lagi spesies yang pilih makanan siap saji dari mesin otomatis. Dan segelintir kecilnya spesies yang makan pil nutrisi—barangkali cuma kamu. Satu-satunya."
Detik cuma mengangguk tanda menyimak, sama sekali tidak tersinggung disebut spesies pemakan pil nutrisi begitu. Berhubung ini kedatangannya setelah entah berapa lama, Detik dibuat sibuk mengamati tentang bagaimana cara orang-orang mengambil makanan. Ia betulan lupa bagaimana cara kerja kafetaria. Tentu, kalau tanya ini itu melulu ke Zaman, bisa dibilang kampungan betulan ia.
Kafetaria tidak terlalu luas, tapi tingginya lumayan, dua belas lantai barangkali, Detik terlalu malas menghitung. Tapi ia bisa lihat lantai paling atas yang paling penuh, sebab atap sampai dindingnya dibuat dari kaca tembus pandang. Jadi, pemandangan paling bagus ada di sana.
Sedangkan di lantai satu isinya tempat memesan makanan. Setidaknya ada dua puluh konter dengan berbagai jenis makanan, yang Detik tidak perlu dibuat berpikir harus pilih konter yang mana. Konter nomor tujuh dari kiri, konter makanan Asia. Saking ramainya orang, Detik sudah abai soal Zaman, terserah ia hendak mengekor atau tidak. Detik saja lupa apa makanan kesukaan Zaman.
Tidak ada antrean, Detik hanya perlu menekan tombol di layar ingin makan apa. Bedanya dengan makanan dari mesin, kafetaria menyediakan makanan sejati, benar-benar dimasak dari mentah sampai matang. Tentu, cita rasanya menang jauh. Makanya orang-orang rela datang ke kafetaria. Teknologi memang memudahkan, tapi tidak berlaku untuk dunia kuliner.
Setelah berhasil memesan, Detik dan Zaman bertemu kembali, untuk kemudian mencari tempat duduk. Area yang kosong dapat dilihat di layar navigasi, lantai empat yang tampaknya agak lengang. Keduanya naik lift untuk sampai di lantai empat, dan sesampainya, Zaman mengarahkan Detik untuk mencari area yang agak kosong, dua kali satu setengah meter kira-kira.
Tak lama, mereka dapat satu di dekat jendela. Cukup dengan mengetukkan kaki tiga kali di lantai, lantai kafetaria akan terbuka, bangku dan meja stainless akan muncul lalu terangkat dari sana. Detik yang lupa kafetaria punya teknologi secanggih itu sempat terkejut sebentar sebelum duduk, kemudian cepat-cepat ia sembunyikan sebab Zaman sudah siap-siap tertawa.
"Sofa di ruanganku lebih empuk."