Irisan Keempatbelas
kereta 360 derajat
═════════════════
Sani jadi nahkodanya hari ini.
Detik dengan seluruh harga dirinya yang setinggi langit harus membumi sementara dan mengikuti semua arahan Sani. Bagaimanapun, ini adalah dunia yang sudah sepuluh tahun tidak Detik jamah, naik bus dari gedung asosiasi ke pusat kota pun Detik dibuat bingung sendiri. Lautan manusia yang sering ia dengar di berita ternyata sama sekali bukan metafora.
Dunia ini memang sudah sesesak itu.
Detik dibuat terpukau dengan banyak hal, mana sempat sadar pasal sang adam yang sedang kelimpungan sendiri di sampingnya. Bibirnya dibuat terbuka, kemudian tertutup lagi sebelum sempat mengucap. Langkahnya yang tertahan lampu merah untuk pejalan kaki membuatnya tidak bisa menghentikan isi kepalanya yang ribut.
Tapi, kalau tidak ditanyakan sekarang, mau sampai kapan isi kepalanya dibuat sibuk menerka yang tidak-tidak begitu?
"Jadi... Kamu betulan dilantik sepuluh tahun lalu?"
Tak tahulah. Sani sudah lelah harus membayangkan hal tidak-tidak macam bagaimana jika ia sudah jatuh hati pada perempuan seumuran bibinya?
Sambil dihimpit orang-orang begitu, Detik harus mendongak agak tinggi agar bisa menangkap raut wajah sang adam. Dan ia berhasil dibuat harus menahan tawanya saat melihat ekspresi Sani saat bertanya, sudah tidak ada lagi bekas-bekas tengilnya di pertemuan pertama.
"Iya. Memang sepuluh tahun lalu,"
Sengaja Detik menjeda, mempermainkan ekspresi wajah Sani itu menyenangkan, kapan lagi ia bisa melihat wajah tegang Sani saat menunggu kalimatnya?
"Tapi umurku saat itu baru dua belas."
Ah, barulah Sani dibuat lega lahir batin mendengar jawaban Detik, sampai helaan napasnya terlalu kentara untuk diabaikan lagi oleh sang puan.
"Jadi, sekarang bilang. Kamu lebih takut mana? Berteman sama tante-tante yang mukanya awet muda atau takut karena sudah lancang sama orang tua?"
Gantian, kini Sani yang dibuat terkekeh dan agak terkejut karena bisa-bisanya dari mulut seorang Detik keluar kalimat lelucon begitu. Sani pilih menyimpan jawabannya di kepala, dan melanjutkan langkahnya berhubung lampu merah untuk pejalan kaki sudah bergulir jadi hijau. Langkah-langkah Sani jadi lebih ringan dari sebelumnya.
Setelah tiba di seberang, Sani sengaja mengajak Detik ke tepi yang agak sepi. Kemudian kedua tangannya terulur, meraih kedua bahu mungil Detik, dan membungkukkan sedikit tubuhnya yang terlalu tinggi bagi sang puan. Sani melebarkan tatapnya, memastikannya mendarat tepat di kedua mata kecokelatan milik Detik,
"Tunggu sebentar."
Sani ucap tanpa menunggu Detik mengiyakan. Ia mengerjap cepat sebab terkejut, dan sosok sang lelaki lebih dulu hilang di persimpangan pertama, kemudian membaur antara lautan manusia yang tidak ada hentinya lalu lalang. Mau menyusul pun entah harus melangkahkan kaki ke arah mana. Satu-satunya pilihan yang Detik punya hanya mempercayai nahkodanya akan kembali.
Oh, juga berpikir positif kalau sang nahkoda sedang tidak mengerjainya dan meninggalkannya di tengah-tengah ramai sesak kota begini. Sumpah, kalau benar begitu, Detik tid—
"Enggak, kamu enggak lagi dikerjain.
Tadi aku beli roti lapis dulu, buat sarapan nanti sambil tunggu antrean di stasiun. Gosipnya kamu lebih suka pil nutrisi, tapi aku enggak suka makan sendiri. Jadi, aku mengabaikan selera makan kamu dulu hari ini, ya?"