Irisan Kelimabelas
sayap icarus
═════════════════
Tahu keretanya segera tiba, Sani dan Detik sudah siap-siap berdiri di pinggir peron. Benar kata Sani, kereta yang satu ini cukup ramai, tapi tidak semembludak kereta-kereta super cepat. Dari kejauhan, Detik sudah bisa lihat calon keretanya mendekat. Lajunya cepat, namun geraknya tenang di atas rel tak kasat mata—setidaknya ini yang mampu dilihat Detik.
Sekali lagi, setengah mati dibuat penasaran begitu pun, harga dirinya masih terlalu tinggi untuk menanyai Sani perihal penjelasan logis tentang bagaimana kereta-kereta itu dapat berpijak di atas udara. Detik lebih pilih untuk mempelajarinya sendiri sepulang dari sini.
Tepat di saat kereta itu terhenti, pintu-pintu kereta terbuka. Detik yang berdiri di depan Sani lebih dulu masuk, lalu kemudian disusul Sani. Di dalamnya, Detik disambut bangku-bangku beludru merah cerah yang disusun rapi berhadap-hadapan searah gerak kereta. Keretanya terdiri dari dua tingkat, Sani sengaja pilih tingkat dua yang tadinya hendak Detik pertanyakan namun urung. Di tingkat dua, langit-langit kereta sengaja didesain terbuat dari kaca, supaya pemandangan yang disuguhkan langit bisa puas dinikmati.
Tanpa perlu lama-lama memilih, Detik pilih bangku nomor dua dari depan, dan Sani pilih duduk di hadapannya, supaya lebih mudah mengamati perubahan ekspresi yang Detik tunjukkan di wajahnya, bahagia atau kecewanya. Sebab kepuasan tamunya jadi prioritas Sani hari ini. Sejauh pantauannya, Detik masih menunjukkan kalau suasana hatinya sedang baik-baiknya.
"Enggak takut?"
"Enggak. Ini bagus, aku jadi merasa lebih dekat sama kematian."
Sani dibuat berdecak pelan, bukan begitu jawaban yang ia inginkan.
Namun bukan masalah besar selama ia masih bisa melihat kekehan pelan di wajah sang puan setelahnya. Tak lama pintu-pintu ditutup, dan kereta yang perlahan melaju meninggalkan stasiun, lepas landas ke udara. Cerahnya sang bumantara di bingkai gedung-gedung pencakar langit puas-puas Detik tatap. Dibuat mendongak begitu pun Detik tak masalah.
Malah senyum di ranum bibirnya merekah, sesekali matanya dibuat terpejam, tangannya mengepal, saat kereta harus menukik, berputar, menghindari gedung-gedung pencakar. Suara sang puan melebur, berbaur dengan riuh suara orang-orang yang sama bahagianya.
Harusnya Sani tidak perlu dibuat khawatir pasal kepuasan tamunya, namun atensinya tak bisa lepas dari tiap inci wajah sang puan yang sedang berbahagia menikmati kebebasan satu harinya itu.
Ah. Satu hari. Andai ia bisa suguhkan kebebasan itu lebih lama, Sani inginnya menyanggupi.
"Sesenang itu ya mendekati kematian?"
Cepat sekali Detik mengangguk mengiyakan pertanyaan Sani. Dalam benaknya, Sani dibuat sekali lagi merapal doa, agar kebahagiaan sang puan bisa dibuat sedikit lebih lama.
"Ini aneh. Bisa-bisanya aku merasa lebih hidup saat mendekati kematian."
Detik jawab tanpa melepas pandangnya pada langit cerah di luar. Juga masih dibuat kagum sendiri dengan lautan manusia yang baru ia lewati satu jam yang lalu, kini bisa tampak sekecil itu jauh di bawah.
"Omong-omong, kamu tahu Icarus?"