Irisan Ketujuhbelas
melangitkan harap
═════════════════
Mungkin memang konsep kuno yang diusung si Pak Tua.
Di mana lagi ia bisa temukan perangko dan foto cetak hitam putih begitu? Di era serba modern begini, mana ada yang masih surat menyurat pakai perangko? Sani beli saja perangko-perangko itu, sebab motifnya lucu. Bunga-bunga merah muda di tengah musim semi putih. Sani beli lima lembar, kemudian diberi bonus dua lagi oleh si Pak Tua. Katanya, siapa tahu suatu hari nanti butuh, ia tak pernah tahu. Diberi cuma-cuma begitu, ya Sani senang-senang saja.
Sekali lagi ia pandangi foto-foto di tangannya, lalu dibuat senyum sendiri.
Sani saja tak ingat kapan terakhir kali ia lihat foto hitam putih begitu, sudah jarang sekali. Kini di tangannya ada total lima lembar, posenya sama semua sebab Detik tidak suka difoto. Menerima hasil cetaknya pun tak mau. Katanya, ia suka marah kalau melihat diri sendiri. Sebab matanya terlalu mirip dengan ayahnya.
Tahu begitu, Sani ingin ucap terima kasih pada sang ayah karena sudah menurunkan sepasang mata teduh yang menyenangkan ditatap itu pada putrinya. Terima kasih sebab hanya di sana Sani mampu dibuat tenang, dengan tanpa usaha untuk melawan, ia dibuat memasrahkan diri saja agar tenggelam di sana dalam-dalam.
Tangan Sani mengulur, menaruh lembar-lembar itu ke dalam sakunya hati-hati, supaya jangan sampai rusak sebab terlipat. Wajahnya memaling, melihat jalanan di luar lamat-lamat. Tak banyak yang bisa dilihat. Langit sudah menggelap kemerahan, laju bus yang ditumpangi pun bukan main cepatnya. Titik-titik salju yang turun anggun pelan-pelan jadi terlihat berlarian.
Sani jadi tersadar sesuatu.
Tangannya kembali terulur, hati-hati sekali, jauh lebih hati-hati daripada saat ia menaruh lembar-lembar foto di sakunya. Sani hanya tak ingin membangunkan Detik. Pelan-pelan jarinya meraih bagian pergelangan tangan mantel Detik sambil sempat-sempatnya ucap 'maaf' tanpa suara. Kemudian menekan tombol kecilnya dua kali, agar suhu mantelnya naik dua derajat.
Tamunya mana boleh demam sepulang dari perjalanan.
Tiba-tiba lampu kecil di layar navigasi berkedip dua kali. Lampu di atas bangku milik Sani, Detik, dan beberapa penumpang lain menyala, tanda pemberhentian yang dikehendaki hampir tiba. Lagipula, ini halte terakhir, tak banyak yang turun di sini. Lampu yang tiba-tiba menyala membuat Detik terjaga, kemudian mengernyit.
"Sebentar lagi sampai."
Sani ucap pelan serupa bisikan, Detik belum sadar sepenuhnya untuk merespon. Dua tiga menit berselang dan bus melambat pelan-pelan sebelum betul-betul berhenti. Sani yang duduk di pinggir berdiri pertama, kemudian membiarkan Detik turun lebih dulu, sedang ia menyusul di belakang.
Masih ada dua kilometer untuk ditempuh berjalan kaki—gedung asosiasi seterpencil itu. Membayangkannya saja Detik malas, bukannya mengambil langkah pertama, ia malah duduk-duduk di halte bernomor satu kosong tujuh itu, sambil mengerjap sekali dua kali. Mau tak mau Sani dibuat ikut duduk di sampingnya.