Irisan Kesembilanbelas
melangkah searah
═════════════════
Tepat tengah malam, Detik akhirnya dapat menapakkan kakinya kembali di ruangannya. Temaram, memang biasanya seperti itu kalau ia sedang tidak mengerjakan sesuatu. Dibanding menyalakan lampu mode redup, Detik lebih suka mengandalkan cahaya kemerahan dari langit di luar.
Di tengah cahaya minim begitu, ia hampir tidak sadar perihal eksistensi Zaman di meja kerja miliknya, sedang tertidur dengan kedua lengan jadi bantalan. Entah habis melakukan apa sampai bisa-bisanya berakhir tertidur di atas meja orang begitu.
Di sekelilingnya banyak kertas-kertas, yang sama sekali tidak identik dengan manusia praktis macam Zaman. Baru hendak Detik meraih kertas-kertas itu, pintu ruangannya lebih dulu diketuk tiga kali, bisa-bisanya ada manusia yang tak paham sopan santun bertamu tengah malam begitu. Dan setelah membukakan pintu, Detik tidak dibuat terkejut dengan siapa yang datang.
"Etika bertamumu sudah dibuang ke mana?"
"Aku sudah ketuk pintu dulu. Masih kurang? Atau perlu hormat dulu?"
Karang. Orang klimatologi yang selalu bawa badai kalau kemari. Sama sekali bukan teman Detik. Jadi, agak tidak wajar kalau muncul tengah malam begitu. Sudah dibilang, teman Detik hanya Zaman.
"Sedarurat apa sampai harus datang jam segini?"
"Zaman yang minta aku buat datangi dia jam segini."
Sekalimat jawaban Karang mengundang kernyitan agak dalam di dahi Detik. Untuk apa? Masa' janji kencan tengah malam begini?
Raut yang Detik tunjukkan cukup meyakinkan Karang kalau Detik memang tidak tahu apa-apa, dan mungkin memang sengaja dibuat begitu oleh Zaman. Kalau memang maunya Zaman begitu, yang Karang bisa lakukan hanya mengikuti alur yang dibawa Zaman.
Karang memilih untuk tidak menjelaskan apapun pada Detik.
"Karena dia ingkar janji, kasih tahu dia buat tebus dosa dia besok pagi sebelum jam tujuh. Dan, kalau kamu enggak tega buat bangunkan dia, seenggaknya pinjami dia selimut. Di luar masih musim semi putih."
Karang tahu Zaman ada di dalam. Samar-samar ia bisa lihat punggungnya yang lelah. Tanpa perlu mengucap salam apapun, Karang pilih undur diri dan kembali ke ruangannya sambil mendekap sedikit kecewa. Bagaimanapun, menyeberang gedung tengah malam begitu melelahkan juga.
Karang selalu begitu kalau sudah menyinggung soal Zaman. Macam dibuat rela saja melakukan apapun.
Belum genap langkah kesepuluhnya, sesuatu lebih dulu menahan bahunya supaya tidak melangkah lebih jauh lagi. Setelah berhasil menahan bahu Karang dengan tangan kanannya, Zaman mendahului Karang dan berdiri di hadapannya. Matanya agak menyipit, kemudian mengerjap sesekali. Pukul dua belas malam begitu lampu-lampu lorong sudah dibuat redup. Mata Zaman yang baru bangun tidur jadi agak kesulitan menangkap raut wajah Karang.
"Maaf, terlambat tujuh belas menit."
Zaman ucap sambil menyerahkan chip seukuran kuku jari dan melirik ke luar jendela sebentar. Tepatnya melirik jam raksasa yang terpatri di gedung seberang, jarum panjangnya lurus di antara angka tiga dan empat. Menerima permintaan maaf begitu, Karang dibuat bingung harus jawab apa.
"Seniorku memang agak kekanakan."
"Atau Mr. Bridenstine yang agak pilih kasih."
Karang hanya memunculkan senyum asimetris samar di wajahnya, indikasi kalau ucapan Zaman tidak sepenuhnya salah. Jelas-jelas perencanaan rekayasa cuaca dan iklim sudah ranahnya orang-orang klimatologi–meteorologi, bisa-bisanya diserahkan pada orang Agrikultur—atau tepatnya, pada Detik—begitu. Wajar kalau senior-senior Karang dibuat kebakaran jenggot karena dianggap bukan apa-apa.