Irisan Keduapuluh
kapten tim tujuh belas
═════════════════
Jam sebelas lewat sebelas itu jam tanggung.
Terlambat untuk camilan pagi dan terlalu pagi untuk makan siang. Tapi bagusnya, di jam sebelas lewat sebelas kafetaria tidak terlalu ramai, tidak seramai jam makan siang. Waktu yang sempurna bagi antisosial macam Detik untuk menikmati kesendiriannya. Oh, sebetulnya, bukannya ia sendiri juga.
"Johnny—Johnny, pengenalmu."
Sani cepat-cepat mengambil pengenal yang tersemat di dada kiri Johnny dan menaruhnya di saku miliknya. Kedua mata Sani baru saja menangkap Detik dan Zaman yang memasuki pintu kafetaria, kini sedang berjalan menghampiri dirinya dan Johnny yang sedang berdiri di depan konter nomor tujuh.
"Datang juga, ya? Oh ya, ini Johnny. Wajahnya memang macam Asia tulen, tapi lahir dan besar di Amerika. Dia petugas yang membetulkan lift tempo hari, yang kamu tanyai itu."
Bisa-bisanya. Johnny tahan semampunya agar dengusan napasnya tidak terlalu kentara.
Bisa-bisanya bawahannya sendiri memperkenalkan atasannya sebagai petugas reparasi lift rusak. Sekarang Johnny dibuat setuju dengan ungkapan, saat seseorang sedang jatuh cinta, pihak yang paling direpotkan adalah sahabatnya. Jadi yang mendengarkan cerita tentang si cinta, jadi penasihat, sekaligus jadi tumbal di saat yang diperlukan.
"Oh ya. Karena aku tahu Detik tidak akan mengenalkanmu, jadi biar aku yang kenalkan—Lelaki yang mengekor di belakangnya ini, namanya Zaman."
Kali ini Zaman yang dibuat mendengus. Bedanya, ia tidak perlu tahan-tahan seperti Johnny, malah sengaja saja terang-terangan ia perlihatkan.
Setiap kata yang keluar dari mulut Sani hanya semakin meyakinkan Zaman kalau gelar si tengil itu memang sudah sepantasnya disandingkan setelah namanya. Setelah menekan menu makanan pilihan masing-masing, keempatnya cari tempat duduk. Tidak sulit, kafetaria masih lengang.
Tepat setelah semuanya sempurna duduk, barulah mereka sadar kalau kombinasi posisi duduk mereka cukup membingungkan. Detik duduk di hadapan Zaman, dan Johnny yang duduk di hadapan Sani. Mau tak mau, Zaman dan Sani—yang macam alergi satu sama lain—harus bertahan duduk bersebelahan.
Dua-duanya cuma bisa saling lempar tatapan memicing sebelum kompak menghela napas tidak suka.
Tiba-tiba saja tangan kiri Zaman terulur ke sisi kiri bangku milik Detik, hendak mengatur bangkunya supaya identik dengan sofa di ruangan Detik, kemudian disusul ucapan terima kasih dari sang puan. Sengaja. Dengan alis yang samar-samar naik sebelah, Zaman menatap Sani, ingin menunjukkan posisinya sebagai siapa bagi Detik.
Johnny sama sekali tak ingin terlibat dalam persaingan keduanya. Sengaja kedua bahunya menyerong ke arah Detik, kemudian senyum hangatnya merekah di wajah sebelum mengucap,
"Oh ya, senang bisa bertemu denganmu langsung. Sani banyak membicarakanmu omong-omong. Terlalu banyak, kepalaku sampai pusing. Malam-malam, telinga kananmu suka panas tiba-tiba enggak?"
Detik ikut tersenyum membalas keramah-tamahan Johnny, meskipun agak canggung dan gugup sedikit. Bagaimana pun, Detik sudah lama tidak bicara dengan orang asing begitu, lawan bicara sehari-harinya kalau bukan Zaman ya Mr. Bridenstine. Johnny adalah orang asing kedua setelah Sani.
"Wah, jadi kalian berdua pelakunya? Pantas telingaku—oh iya, terima kasih."
Kalimat Detik harus terpotong saat makanan-makanan pesanan mereka tiba, atensinya pada Johnny harus diinterupsi sebentar.
Johnny dibuat mengamati perempuan di sampingnya, ia jujur seutuhnya saat bilang senang bertemu dengan Detik, si tokoh utama cerita-cerita pengantar tidurnya sebulan terakhir. Tentu, Sani pendongengnya.
Meskipun Sani benar tentang sang puan yang tidak suka melakukan kontak mata, namun Johnny dibuat sedikit lega sebab perempuan yang duduk di sampingnya ini agak berbeda dengan apa yang Sani ceritakan. Nyatanya, Detik tidak sepelit itu dalam bicara.
"Di Amerika susah cari sate, jadi aku suka pesan ini di sini. Padahal—duh, sate itu makanan dari surga, enak banget. Oh ya, Sani bilang, kamu suka sate juga, ya?"
Johnny ucap sambil sibuk mengaduk-aduk bumbu kacang dengan kesepuluh tusuk satenya. Kini ia dapat atensi sang puan lagi, buktinya kekehan pelan terdengar dari bibirnya. "Sani cerita sejauh apa sampai kamu tahu sampai situ? Iya, aku suka. Itu menu makanan terakhir yang aku makan sebelum masuk ke sini omong-omong."
Kedua alis Johnny dibuat naik sejenak, kemudian mengangguk, kompak dengan Sani yang ikut curi dengar. Zaman yang memang sudah tahu malah tersenyum asimetris, sempat-sempatnya ia bangga sudah satu langkah lagi di atas Sani.
"Setelah bertemu denganku langsung, bagaiamana? Sesuai dengan cerita Sani?"
"Agak berbeda, tapi bagus."
Detik dibuat terkekeh lagi, paham sedikit maksud kalimat Johnny. Justru bagus kalau Johnny bilang begitu, Detik memang sedang mengambil langkah kecilnya untuk membuka diri.
"Oh, karena mulai hari ini kita berteman, sebagai salam perkenalan, aku mau janji. Kalau kita berhasil keluar dari sini, kamu boleh tagih aku traktir sate nanti. Tapi susul aku ke Indonesia. Sate di Indonesia lebih enak."