Irisan Keduapuluhdua
undangan kedua
═════════════════
Zaman yang hendak mengambil pil nutrisi itu tak kunjung kembali.
Bahkan setelah berjam-jam, bahkan setelah langit memerah, bahkan setelah langit menggelap, bahkan setelah jam bundar raksasa di seberang gedung menunjukkan pukul sebelas. Mungkin memang belum reda amarahnya itu. Toh Detik juga tidak ingin berselisih dengan satu-satunya teman yang bisa ia ajak bicara.
Oh, sekarang sebelas lewat enam.
Detik belum beranjak dari meja kerjanya, masih betah menumpahkan isi kepalanya di atas kertas, sebelum ia lupa apa yang baru terlintas. Mata kanannya berkedut sesekali, baru sadar ia melupakan kacamatanya setelah seharian menatap layar hologram. Mungkin ia mulai setuju kalau penyakit lupanya semakin berkuasa.
Sekarang sebelas lewat sembilan, dan Detik tidak ingin dibuat lelah menunggu.
Detik tidak ingin terus-menerus dibuat melirik jam raksasa di seberang gedung. Atau gelisah melirik telepath yang ia taruh di atas mejanya. Ada degup yang menyenangkan, sekaligus ragu yang sedikit buat sesak. Tentu, mana bisa Detik lupa pasal apa yang Zaman katakan tadi siang? Mau disangkal berapa kali pun tidak bisa. Detik tahu, ia memang sedang cari pembenaran.
Oh.
Akhirnya telepath di atas mejanya bergetar. Yang sudah ditunggu-tunggu kini malah ditatap ragu, mungkin jika si kecil itu bisa bicara, dia bakal mengomel sendiri, bilang "Kamu tunggu apa lagi, sih?" Lalu mungkin akan Detik balas dengan, "Bisa sabar tidak? Ini panggilan telepath pertamaku setelah bertahun-tahun, tahu?"
Terlalu lama berdebat dengan isi kepala, getar telepath-nya lebih dulu terhenti dan Detik yang dibuat panik setengah mati setelahnya. Sebetulnya, panik yang tidak perlu. Harusnya ia tahu betul gigihnya seorang Sani macam apa, dia tidak akan berhenti di panggilan pertama.
Betul saja, telepath-nya bergetar lagi.
Kali ini Detik langsung menekan tombol kecil pada sisi telepath-nya, kemudian memasangkannya di telinga, kemudian mengarahkan pandangannya pada sisi yang tak tertangkap kamera pengawas ruang kerjanya. Berangsur-angsur sisi ruangannya terbelah, separuhnya berubah, menampilkan langit gelap kemerahan yang kontras melatari Sani yang dibalut kemeja biru pucat. Ia berdiri tegak sambil menaruh kedua tangannya di dalam saku.
Saat tampilannya sempurna, sang lelaki mengeluarkan tangannya dari saku, melambaikan tangan dua kali dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas, menampilkan deretan gigi-giginya.
"Sedang sibuk, ya? Maaf aku mengganggu."
Maaf lagi.
Atensi sang lelaki langsung tertuju pada hologram yang masih menyala, juga berlembar-lembar kertas di atas meja, pena di tangan, dan papan raksasa yang penuh dengan kertas-kertas kecil. Sani dibuat mengobservasi tiap inci ruangan milik Detik, ruangan yang hampir sepuluh tahun dalam hidup sang puan ia habiskan di dalamnya.
"Memang selalu sibuk. Kau... Di atap?"
"Yap. Bukannya jam kerja cuma sampai pukul sepuluh? Seharusnya kamu sudah siap-siap tidur jam segini."
"Kalau mau mendekam di sini satu abad lagi, iya. Kita bisa santai-santai dan tidur delapan jam sehari kayak bayi."
Sani tersenyum sebelum mengambil tiga empat langkah, kemudian berhenti tepat di garis batas antara ruangan Detik dan atap tempatnya berpijak, karena memang tidak bisa lebih dari itu. Kemudian ia duduk bersila, kepalanya mendongak, tidak lagi mengobservasi kamar Detik, melainkan wajah si pemiliknya.