Irisan Keduapuluhtujuh
yang sedang berbahagia
═════════════════
Detik bersumpah, kalau pukul sebelas lewat sebelas telepath-nya tidak bergetar, ia sendiri yang akan menghubungi Sani lebih dulu. Kalau sampai Detik yang menghubungi lebih dulu begitu, artinya Sani sudah keterlaluan. Bisa-bisanya di momen sebaik ini dia tidak ucap apa-apa? Ini momen bahagia, dirayakan satu dunia. Kebebasan Detik akhirnya ditetapkan.
Detik membuka lebar-lebar jendela ruangannya agar cahaya kemerahan dari luar bisa menggapai ruangannya tanpa halangan. Kemudian buru-buru membalikkan badan, bersandar, menumpukan punggung pada sisi jendela. Ia hanya malas melihat jam besar di gedung seberang, tidak mau tahu juga sudah jam berapa sekarang.
Kini tatapnya dibuat menyapu tiap sudut ruangan, yang membuatnya berdecak sendiri sebab bisa-bisanya anak gadis macam ia hidup di tempat seberantakan ini. Pada satu titik, ia jadi memaklumi sikap Zaman yang suka mengomel itu.
Oh, telepathnya betulan bergetar.
Entah ia lakukan dengan sadar atau tidak, tapi seorang Detik baru saja berlari dari tepi jendela menuju mejanya demi menerima panggilan telepath. Buru-buru ia memasangnya di telinga, dan lima-enam detik kemudian Sani betul-betul berdiri di hadapannya, melambaikan tangan dengan senyum lebar-lebar.
Tanpa menunggu lambaian balasan dari Detik, Sani lebih dulu mengambil langkah, duduk di tepi batas. Detik pun mengikuti apa yang Sani lakukan, kemudian duduk bersila di hadapannya.
"Aduh, silau. Senyum kamu cerah banget."
Bisa-bisanya Sani ucap begitu di kalimat pertamanya. Kedua sudut bibir Detik sendirinya dibuat tertarik ke atas, sudah tidak ia tahan-tahan lagi, sengaja saja ia tunjukkan pada si lelaki. Duh, kalau Sani bilang begitu, Detik harus jawab apa? Apa perlu ia balas memuji senyum sang adam yang entah sejak kapan sudah menjadi candu baginya itu?
"Aku bilang silau, kamu malah senyum makin lebar. Sifat membangkangmu ini memang susah hilang ya?"
Detik terkekeh sambil memalingkan wajah sebelum kembali berucap, "Karena hari ini hari baik, kamu mau sebut aku apapun juga aku enggak akan marah. Silahkan."
Detik menolakkan kedua tangannya pada lantai kemudian menelengkan kepalanya. Sejujurnya ia hanya agak gugup karena terlalu senang. Hari ini bahkan terlalu baik untuk jadi nyata. Seperti mimpi.