Irisan keempatpuluhempat
menuju keberangkatan
═════════════════
Satu hari menuju keberangkatan, dan tidak ada yang tidak sibuk hari ini.
Pintu gerbang asosiasi dibuka lebar-lebar agar sepertiga penghuni bumi yang terpilih untuk diberangkatkan merasa tersambut dengan baik. Kurang tepat kalau disebut terpilih, nyatanya sebagian besarnya mengajukan diri. Harapan hidup rendah, pengangguran, sebatang kara, macam-macamlah. Kesamaannya kurang lebih satu, sudah tidak punya alasan untuk menetap di bumi.
Lagipula, janji asosiasi juga cukup menggiurkan.
Satu bulan pertama di perjalanan, para penumpang akan dijamin kehidupannya dengan layak. Makanan, pakaian, tempat tinggal, sudah jauh dari kata cukup bagi mereka yang lama hidup di jalanan. Selanjutnya, seluruh penumpang ditidurkan dalam kapsul-kapsul untuk sepuluh tahun ke depan. Nanti tahu-tahu dibangunkan tepat satu bulan sebelum tiba di Eden. Agak berisiko, tapi, lumayan ‘kan untuk mereka yang sudah lelah dengan segala pahitnya dunia? Kasarnya, bagi mereka, kalau tidak bangun lagi pun, tidak masalah.
Satu persatu mereka yang datang diperiksa dari kondisi fisik, psikologis, pula barang bawaannya. Entah karena terlalu sibuk, terlalu banyak wajah yang ditatap, tangis sedu perpisahan sama sekali tidak tumpah di sana. Barangkali kondisinya dua, pertama, mereka yang berangkat memang pergi bersama orang-orang yang dicinta, kedua, mereka yang memang tidak punya seseorang untuk ditangisi.
Ribuan Jajaran Segani tersebar di seluruh penjuru, membantu apapun yang bisa dibantu. Tentu, Sani termasuk di dalamnya. Sebagai mechanical engineering-nya Segani, kedua kaki dan tangannya dibuat tidak berhenti bergerak sejak pagi, sibuk memeriksa kelayakan tiap-tiap kapsul waktu untuk yang ke sekian kalinya.
Sedang Detik tidak lagi mengurusi berton-ton bijih hasil rekayasanya itu. Sudah tidak mampu, kalau dipaksakan pun bisa jadi ia hanya mengacau. Makanya Detik hanya lihat dari jauh, mengamati tiap-tiap kotak raksasa itu masuk ke dalam kapal, sambil merapal doa agar semuanya mampu tumbuh dengan baik, dan menghidupi tiap-tiap manusia yang bertahan di tanah Eden nantinya.
“Tenang. Nanti saya yang jaga agar semuanya tumbuh dengan baik di atas tanah Eden. Biar mata kamu yang hampir jereng itu tidak sia-sia.”
Mr. Bridenstine, entah sejak kapan berdiri di samping Detik yang sejak tadi sibuk dengan doa-doa baiknya. Wajah Detik terangkat, mengulas senyum untuk Mr. Bridenstine yang barangkali tidak akan pernah ia tatap lagi dalam jarak sedekat ini.
“Terima kasih.”
“Jangan dulu berterima kasih, nanti saja kalau saya sudah tepati.”
Mr. Bridenstine melipat kedua tangannya sedang Detik sudah siap menginterupsi, “Bukan. Saya berterima kasih untuk sepuluh tahun ke belakang. Kalau diingat-ingat lagi, saya sedikit sekali membantunya, merepotkannya lebih banyak.”
Detik tidak pandai merangkai kalimat menyentuh, dan Mr. Bridenstine yang tidak biasa disanjung oleh perempuan galak nan keras kepala yang sudah ia anggap putri sendiri itu. Keduanya diam, tak tahu lagi harus ucap apa. Senang saja menghabiskan sisa waktu bersama tanpa perlu mengucap apa-apa.
“Oh, ada pesan untuk ayahmu?”
Ah, hampir saja Detik lupa, bisa-bisanya lupa dengan ayah sendiri, bisa sakit hati ayahnya kalau sampai tahu.
“Sampaikan ucapan terima kasihku karena sudah menitipkanku pada orang yang tepat. Berkatnya, aku tumbuh dengan baik, pula dipertemukan dengan orang-orang baik di sini. Ceritakan juga tentang kabarku, tapi yang baik-baiknya saja. Jangan sebut pasal semua usaha bunuh diriku yang panjang, atau, apalagi tentang penyakitku.”
Detik ucap sambil menerawang, mengingat-ingat apa yang perlu disampaikan pada ayah yang hampir ia lupa wajahnya itu, apa permintaan maaf juga perlu? Mendengarnya, Mr. Bridenstine dibuat menggeleng kemudian berdecak, “Permintaanmu kenapa jadi banyak?”
Detik terkekeh sendiri, baru sadar sudah minta ini itu. Sebelah tangan Mr. Bridenstine terulur, menepuk bahu mungil Detik pelan sebelum kembali berucap,
“Iya, akan saya sampaikan semuanya. Selayaknya dua petani tua yang tidak banyak pekerjaannya, kami berdua akan punya banyak waktu untuk membicarakanmu sambil menunggu padi-padi tumbuh. Pembicaraan tentangmu akan jadi pembicaraan tak berujung.”
Keduanya tak ucap apa-apa lagi, kembali membiarkan diri dikungkung senyap. Sedangkan hati keduanya dibuat ribut merapal doa-doa baik, agar kehidupan masing-masing dibuat bahagia setelah perpisahaan nanti.