××××
Yang paling tidak ingin Rinai pelajari adalah tes menghapal beda lagi kalau menghapal lirik lagu bisa ia lakukan tanpa susah payah mengingat tapi menghapal pelajaran, sungguh membuat otaknya tersiksa. Mana waktu yang diberikan hanya satu menit dan menurut Rinai sama seperti satu detik lalu setelah begini adanya Rinai mesti bagaimana?
"Untuk Ananda Rinai Adistia, silakan datang ke ruang guru!"
Panggilan itu membuat Rinai bernapas lega karena secara tidak langsung suara itu menyuruhnya agar keluar dari kelas menghapal tanpa hambatan.
"Rinai, kamu dipanggil ke ruang guru cepat pergi kesana!" kata Pak Saiful menunjuk pintu. Ia hapal betul jika Rinai akan mengerjakan tugas dari salah satu guru yang sepertinya menganggap Rinai adalah anaknya.
Rinai mengangguk dan segera beranjak. "Iya pak," jawabnya.
Setelah keluar dari kelas, Rinai diam-diam tersenyum kemudian melangkah dengan senang hati. Akhirnya Bu Nira memanggil dirinya disaat yang tepat. Kalau tidak, ia bisa stress menghapal banyaknya kata ke dalam kapasitas kepalanya yang kecil. Setelah dipersilahkan masuk oleh Bu Nira langsung saja Rinai disuguhi lembaran kertas dua tumpuk namun harus diakui ini lebih mending daripada kegiatan menghapal. Ia mulai memeriksa satu persatu jawaban dengan teliti tentang soal ABC coba kalau esai, mungkin akan tambah bingung ketika memeriksa soalnya jawaban setiap murid akan berbeda-beda.
Dua jam berkutat dengan lembaran tugas sebanyak enam puluh akhirnya terselesaikan dengan baik kemudian Rinai meregangkan jari-jari tangannya.
"Sudah selesai ngeceknya Rinai?" tanya Bu Nira sambil membawa buku paket.
"Iya Bu tinggal dibagikan saja," balas Rinai tersenyum.
"Kalau begitu kamu bagikan kertas yang ini." Bu Nira memberikan satu tumpuk kertas pada Rinai.
Menyesal rasanya Rinai mengatakan tinggal bagikan, harusnya mengatakan hal lain tapi mau diputar ulang tidak akan bisa sehingga dengan senyuman tipis Rinai mematuhi perintah Bu Nira untuk membagikan kertas tugas ke kelas 11 IPA-E yang sedang ada di perpustakaan. Tadinya Rinai ingin pergi dan tak menginjak tempat kumpulan buku beraneka ragam tetapi terpaksa harus datang kesana.
Kebetulan perpustakaan SMA 9 Belas selalu membukakan pintu bila sedang buka sehingga Rinai tidak perlu susah-susah mengetuk dan berakhir malu jika didalamnya banyak murid yang tak ia kenal.
"Hei Rinai kamu mau kemana?" sapa Ratih memegangi perutnya dan menahan sesuatu.
"Kesana," tunjuk Rinai menggerakkan kepalanya.
Ratih tersenyum. "Oh hati-hati ya, di dalam banyak yang datang."
"Siapa aja?" tanya Rinai tetapi sayangnya Ratih sudah menjauh.
Ratih berbalik menggerakkan mulutnya tanpa suara. "Kelas sebelas sama sepuluh,"
"Digabung?" Rinai kembali bertanya.
"Nggak kayaknya, yaudah aku mau ke toilet, dadah," pamit Ratih sudah kebelet.
Kedatangan Ratih barusan bukannya meyakinkan Rinai untuk masuk malah mengikis keyakinan itu. Rinai harus bagaimana nanti? Andai dirinya sosok murid penuh percaya diri tapi sikap itu justru sangat susah untuk diterapkan apalagi dihadapkan dengan banyak manusia. Tak menyukai menjadi pusat perhatian agak menganggu dan sulit dihilangkan begitu saja harus ada langkah-langkah yang mendukung lalu dukungannya tidak ada ya... hilang sudah kepercayaan diri itu.