Actually

siti rahmah
Chapter #2

Chapter 1

“Astaga, Bang Alvin!”

Cewek itu menghembuskan nafas berat kemudian menyeret kakiknya mengikuti langkah cowok di depannya. Kali ini Alvin membawanya ke sebuah distro setelah memaksanya memilihkan furniture baru yang menurutnya sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Belum lagi tangannya yang harus menjinjing paper bag berisi sepatu milik cowok itu, begitu membosankan.

“Tunggu bentar ya, habis ini kita pasti makan” Alvin mulai sibuk memilah satu per satu baju yang tergantung pada hanger di depannya. “Menurut kamu, bagus yang putih atau hitam? Eh, tapi ini apa nggak kayak ABG benget nggak sih Ra?”

Savira mendesah samar. Tanpa menjawab pertanyaan abangnya, dia segera beralih menempati kursi kosong dipojokan. Sudah hampir tiga jam Savira berada di mall itu dan Alvin masih belum selesai dengan keperluannya.

Mungkin bagi kebanyakan orang, berbelanja atau sekadar mengitari mall dengan menggunakan istilah ‘cuci mata’ merupakan suatu kepuasan tersendiri. Namun, bagi seorang putri bungsu dari keluarga Bram tidak lantas membuatnya menyukai belanja. Baginya, mall hanyalah tempat keramaian biasa yang tidak menarik dan tidak harus dia kunjungi. 

“Ra, menurut kamu mana?” tanya Alvin menghampiri Savira dengan menunjukkan dua baju di kanan dan kiri tubuhnya.

Savira menghela nafas, kemudian menunjuk salah satu di antaranya dengan malas. Sudah jadi kebiasaan Alvin menjatuhkan pilihan berdasarkan pendapat adikknya---yang pada intinya pilihan Savira hanyalah sebagai alat bantu menentukan pilihannya sendiri alias blacklist option. Savira awalnya sempat heran, namun Alvin tetap melakukannya hingga membuatnya bosan dan pasrah.

“Cemberut aja mukanya, es krim vanilla mau nggak?” tawar Alvin. Matanya kembali memperhatikan baju di tangannya, melihat ke arah cermin untuk mencocokkan di tubuhnya sendiri.

“Vira capek, mau pulang.”

“Ya udah, habis ini jalannya abang gendong aja biar nggak capek”

“Nggak jadi. Es krim vanilla aja” putus Savira cepat menjawab

Alvin tertawa geli. “Siap bos, tapi kita makan dulu. Kamu belum makan nasi, pagi juga cuma minum susu. Mbak, bungkus yang ini ya” lalu Alvin menyerahkan baju pilihannya pada pelayan toko. “Kamu nggak mau beli sesuatu apa gitu, Vir?”

Savira menggelengkan kepala kemudian dibalas Alvin dengan cebikkan. “Cepetan deh, kek anak cewek aja” Savira gemas sendiri.

“Iya bentar, dibungkus dulu. Kalau barangnya udah di tangan abang kan kita bisa keluar… lah ini keluar tanpa bawa barang kan rugi. Apalagi udah dipilihin sama tuan putri” Alvin mengedipkan mata mencoba menghibur. “Udah ah, kek nggak ada selera hidup aja kamu. Jadi berapa, mbak?” tanya Alvin kembali pada pelayan.

Savira memilih berjalan keluar dari toko itu lebih dulu saat Alvin berurusan dengan pembayaran. Saat sudah berada di luar tanpa sengaja mata langsung menemukan objek menarik. Savira memperhatikan toko itu beberapa saat sebelum akhirnya menarik cepat tangan Alvin yang baru saja memunculkan diri.

“Mau beli sesuatu” Savira melukiskan senyum di bibirnya menatap Alvin yang tampak curiga. “Ke toko buku dulu ya sebelum makan. Nggak banyak kok, cuma lima novel aja.”

Lima? Sedikit katanya? Apalagi dengan ketebalan yang menurut Alvin melebihi buku kamus, permintaan Savira selalu berhasil membuatnya mengaduh. Andai bukan adik perempuan kesayangannya, sudah pasti Alvin tidak mengabulkan. Alvin mengamati toko di depan sana cukup lama.

“Nggak usah kelamaan mikir, jawabannya bukan buat kuis berhadiah jua kok. Nggak bakal untung” Savira segera menggandeng abangnya untuk cepat berjalan. Namun, sepertinya Alvin yang terlihat sedang diseret.

“Sehari tanpa membaca memangnya bisa bikin orang berubah ya, mbak?” Tampang Alvin mulai malas-malasan masih mengimbangi langkah Savira yang terbilang cukup cepat. Alvin menggeleng, tangannya mulai terasa nyeri karena tenaga Savira yang entah sejak kapan bertambah kuat.

“Apaan?”

“Galau. Kayak orang patah hati, nggak ada tanda-tanda kehidupan.” Alvin mengamati wajah cewek disampingnya yang masih bersemangat menggandeng tangannya “Dikurang-kurangin baca novelnya, banyakin baca buku pelajaran aja. Udah kelas tiga, udah mau lulus juga” katanya berkomentar.

“Iya nanti diselingin” Savira cepa-cepat bergerak, melepaskan tangannya dan menyerahkan paper bag kepada sang pemilik. Cewek itu menyosor masuk ke toko itu tanpa pamit.

“Serah deh” runtuk Alvin heran. Masalahnya Alvin bingung dengan nilai Savira yang selalu bagus. Tidak jarang anak itu meraih juara kelas bahkan sempat ditunjuk mengikuti beberapa lomba dibidang akademik. Padahal selama ini, Alvin tidak pernah melihat Savira membaca buku pelajaran ataupun mengerjakan pr di rumah. Sementara cewek itu selalu menghabiskan banyak waktunya untuk membaca novel.

Savira sudah menyimpan tiga buku ditangannya dalam waktu kurang dari lima menit. Bagian ini dia memang lihai. Masih ada dua buku lagi yang bisa dia bawa pulang atau lebih banyak lagi sebelum Alvin mengamuk. Dilihatnya Alvin juga sedang melihat-lihat buku yang entah kategori apa jauh di sana. Savira tersenyum dan menuju rak sebelahnya.

Tatapannya menyusuri rak bagian bawah, ah semuanya sudah pernah dia baca. Kemudian bagian tengah, rasanya tidak cocok. Lalu bagian atas, romance. Savira jarang membaca buku bergenre romance, paling hanya mentok ke teenlit.

Anantha prahadi, Risa Saraswati.

Ragu, tapi penasaran juga. Belum pernah rasanya penulis terkenal itu mengeluarkan buku dengan genre novel romance. Saat tangannya ingin menyentuh novel tersebut, tanpa sadar seseorang juga ingin mengambilnya.

“Eh,”

Savira tersentak kaget saat keduanya memegang satu sisi masing-masing dari novel yang sama. Savira mendongak dan dalam waktu bersamaan keduanya saling bertemu tatap---Savira menatapnya speechles. Orang itu ternyata adalah seorang cowok, kacamata bertengger di batang hidungnya yang semakin terlihat mancung. Savira mendadak melepaskan pegangannya lantaran tidak enak dengan tatapan cowok itu.

“Bentar” intruksi cowok itu sambil mengambil buku yang sama di atas sana. Kemudian cowok itu menyodorkannya ke arah Savira.

“M-makasih” Savira fokus pada wajahnya, meski tangannya menerima buku itu secara otomatis. Dan sedetik kemudian cowok itu berpaling meninggalkannya tanpa ucapan balasan.

Mata Savira memperhatikan punggung miliknya yang kian menjauh. Alis lurus yang tebal, bibir yang tipis, mata yang hitam, sepertinya Savira mengenali ciri fisik itu sebelumnya. Dan entah bagaimana dia tidak menemukan orang apalagi nama dari ciri-ciri itu dalam ingatannya.

Siapa dia?

Sebuah pertanyaan mengantung di pikirannya. Savira mencoba terus mengitari memori ingatannya sambil menatap buku yang ada di tangannya. Mulai dari teman SD, SMP sampai teman SMAnya di Jakarta. Tidak ada yang cocok.

“Widih, romance! Udah siap-siap jatuh cinta atau on the way jatuh cinta nih, mbak?” Savira terlonjak kaget mendengar suara menggelegar memenuhi isi telinganya. Alvin berbicara tepat di telinganya dan tiba-tiba merebut alih buku satu itu dari tangannya.

Lihat selengkapnya