Kelas baru untuk teman baru, dan lembaran baru. Setidaknya itu yang ada dipikiran murid pindahan sewaktu menginjakkan kaki pertama ke sebuah ruangan asing. Namun, itu tidak akan berlaku untuk Savira. Mengingat, tidak ada orang dikota ini yang mengenalinya lebih dari Alvin mengenalnya, sepertinya itu hanya ekspektasi. Dan ekspektasi memang terkadang tidak sesuai realita bukan?
Savira mengambil sesuatu dalam tasnya, sebuah earphone dan buku baru. Tangannya menulis, telinganya mendengarkan musik, dan matanya liar kesana kemari. Kemampuannya dalam bidang akademik sudah tidak perlu diragukan. Entah apa yang membuatnya begitu pintar, Savira tidak pernah terlihat kesusahaan dalam setiap pelajaran. Ah ya, kecuali mata pelajaran olahraga. Nilainya selalu bagus dan di atas rata-rata kecuali yang satu itu. Meskipun kelihatannya Savira tidak fokus kedepan, Savira sudah mencatat kata kunci dari apa yang Pak Ihsan terangkan. Karena dengan kata demi kata itu nantinya yang akan menggambarkan seberapa jeniusnya seorang Savira.
Savira mulai menilai. Mulai dari Agis, cowok yang.... arghh anggap saja unik. Anak itu memang terlihat sangat menonjol dengan geraknya seperti cacing kepanasan. Bukannya memperhatikan papan tulis, Agis malah sibuk bolak balik menengok kebelakang. Cowok itu tersenyum sembari mengedipkan sebelah mata setiap kali Savira menoleh kearahnya. Savira memandanginya lebih dari lima detik, Agis tertawa sendiri kemudian berpura-pura kembali menulis.
Kemudian, dua anak yang sibuk bertengkar di depan mejanya karena selembar kertas. Sam dan fika. “Sam? Lo nyontek punya gua ya?” Cewek itu menarik paksa buku disebalahnya. “Sumpah, sama semua. Lo pasti nyontek kan, ngaku deh lo. Gua aduin pak ihsan tau rasa lo”
Lalu Sam mengambil alih barang miliknya “Enak aja! Gini-gini gua jua pinter bahasa inggris kali fik”
Atau mungkin, Eva. Cewek misterius yang sedari tadi hanya diam. Savira berpikir, cewek itu tidak bernafas saking tidak ada gerak yang dia lakukan. Wajahnya menunduk dan hanya memandangi buku terbuka di atas meja—-tanpa ada satu tulisanpun di atas sana.
“Pak, pak ihsan?! Sam nyontek punya saya pak” Fika mengadu membuat banyak mata memandang kearah mejanya.
“Mana ada pak, dari tadi saya ngerjain sendiri kok.”
“Bohong pak, coba bapak liat... jawabannya semuanya sama kayak punya saya”
Sementara pak ihsan menggelengkan kepala, anak-anak bersorak ricuh. Diantara dua orang yang saling berebut jawaban, sepasang masa itu tertangkap oleh Savira. Ada seseorang yang mengamatinya di depan sana.
“Kalian ini, kayak tom and jerrry aja. Udah gede—-“ kalimat Pak ihsan mengantung seiringan dengan bel yang dibunyikan. Jam istirahat. Kompak semua orang diam dan berhenti bergerak sampai suara nyaring itu mereda. “Oke, karena waktunya sudah habis...saya jadikan soal itu sebagai pr. Dan sebagai tambahannya kalian saya tugaskan untuk mengerjakan halaman berikutnya. Kumpulkan minggu depan and happy a great day”
“Thank you, sir” serempak anak-anak menjawab lantang juga bersemangat.
Sepeninggal guru itu, seluruh siswa tampak sibuk. Membereskan alat tulis dan bergegas keluar ruangan. Entah ke kantin atau koperasi untuk mengisi perut mereka dengan makanan setelah diserap habis oleh pelajaran bahasa inggris. Sementara Savira mematung, matanya kini melirik buku yang dimasukkan Eva kedalam tas.
Sebelum Eva lanjut berdiri, Savira mencegat dengan ucapannya. “Kita belum kenalan. Aku savira, pindahan jakarata” cewek itu berani menjulurkan tangannya. “Mungkin kita bisa jadi teman dekat setelah ini?” Kalimat itu seperti sebuah dikte dari seseorang. Dia mengucapkannya tanpa beban.
Bukannya menyambut, Eva malah menepis tanganya secara kasar.
“Lo udah tau nama gua dan yang lo juga perlu sekarang adalah, gua nggak suka duduk sama orang banyak omong dan berteman sama anak yang sok baik. Dan kalau lo risih, lo bisa pindah dari sini atau pindah kelas sekalian!”
Savira menjengit melihat Eva bangkit dengan gusarnya hingga membuat beberapa orang yang memilih tinggal dikelas memalingkan wajah kearah mereka. Mungkin Savira salah, Eva jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Dan Savira sendiri tidak bisa memastikan alasannya untuk menjadi teman Eva itu apa.
“Ikut saya” sepotong suara muncul tiba-tiba. Tangannya ditarik lembut membuat cewek itu berdiri.
“Mau kemana?” Savira tersentak.
Genggaman tangan itu tidak berlangsung lama, begitu dia berhasil membawa Savira keluar kelas, cowok itu melepaskan. Kesannya memang kurang ajar. Tapi anehnya, Savira tetap berjalan disamping anak itu sekalipun tidak tau siapa dia sebenarnya. Kadang perasaan bingung itu memang datang belakangan jika sudah berurusan dengan aura cowok.
Keduanya diam tidak saling mengeluarkan suara satu sama lain. Hanya ada derap kaki yang terdengar membaur dengan suara anak-anak yang beraktivitas di koridor lantai tiga. Juga sorot mata yang membuatnya sedikit risih, seolah menelanjanginya habis-habisan. Cowok itu mempunyai pesona yang membuat Savira jadi tontonan.
“Saya dapat tugas dari ibu Neta buat bantu kamu mengenal lingkungan sekolah” selanya memecah kecanggungan “Ya walaupun nggak bakal berefek besar mengingat kita udah kelas XII, ya paling tidak kamu tau yang dimana letak ruangan-ruangan penting disekolah ini”
Savira mengerti, lantas mengangguk samar. Dia memang perlu tau beberapa tempat untuk dia datangi sesewaktu. Setidaknya, hubungannya dengan sekolah tidak sebatas kelas dan kantor saja.
“Disana, ruangan laboratorium IPA, kantor khusus guru-guru kelas 12 dan ruang BP” anak itu menunjuk deretan ruangan dengan dagunya. “Lab kita ada disebelah dua dan sisa lab bahasa ada di lantai dasar. Kamu kalau mau keperpustakaan ruangannya ada di gedung itu”
Savira mengikuti gerakan tangan anak itu, menengok sebuah gedung tersendiri yang ditunjuknya secara sekilas. Saat pandangannya kembali kedepan, tubuhnya refleks menyerong begitu anak-anak berjalan menghimpit jalan mereka berdua. “Tiga jurusan yang ada disekolah ini masing-masing memiliki tiga ruangan kelas, kalau ditotal dengan kelas satu ada sekitar dua puluh tujuh ruangan yang terisi khusus ruang kelas” Meskipun banyak yang memandang aneh mereka berdua, cowok itu tetap melanjutkan.
Mereka berhenti di depan salah satu ruang kelas yang anak-anak tidak terlalu ramai, di tengah-tengah gedung yang membentuk huruf U. “Kamu lihat, gedung bagian kanan diisi siswa jurusan IPA, kiri jurusan IPS dan di tempat kita berdiri sekarang jurusan Bahasa”
Savira terus mendengar suara anak itu mengalun melewati telinganya, penjelasan yang bersahaja. Anak itu memiliki jenis suara yang mungkin membuat orang lain akan mudah menganguminya, terlebih wajahnya yang menarik untuk diperhatikan. Auranya khasnya sepertinya akan banyak membuat orang penasaran. Sayangnya, untuk Savira sendiri itu masih nomor dua. Saat ini perhatiannya terarah pada seseorang di seberang sana. Cowok itu sedang membaca sebuah buku dengan bertopang siku pada dinding balkon.
Dan Savira tidak bisa teralihkan.
_*_