Jam pelajaran terakhir bersama mata pelajaran yang dalam tanda kutip membosankan, memang sering membuat murid malas-malasan. Ada saja hal konyol yang mereka lakukan. Mulai dari mengencangkan suara menguap, menggosip dengan teman semangku tentang mantan, atau mencoret-coret meja tidak jelas. Entah menulis nama pacar, sahabat, sampai menggambar monster atau tokoh karton yang diberi nama orang yang paling mereka dibenci selama disekolah. Yang pada intinya, mereka hanya ingin segera keluar dari kelas dan merebahkan diri di atas kasur masing-masing karena sudah terlalu lelah berkutat dengan buku dan pulpen. Seharian belajar cukup membuat saraf otak kepanasan!
“Udah belum, lama amat?” Subhan mendengkus “Cepetan, keburu bu marta tau gua nggak bakal bisa tidur, jangkrik”
“Sabar, gua juga lagi usaha”
“Cepetan, geli banget gua disentuh sama lo”
Dari sekian jumlah murid kelas X-3, mungkin cuma Subhan yang paling jahil. Murid yang satu itu selalu berhasil membuat guru berteriak bahkan hampir membenturkan kepalanya ke dinding dengan sifat utamanya yang tidak bisa dikontrol. Dan pada hari ini, lagi lagi Subhan melakukan aksinya. Kali ini Subhan memaksa Rizki, teman sebangkunya untuk menggambar mata di bagian kulit kelopak matanya sedang ia terpejam. Katanya, biar Bu Marta tidak tau kalau dia sedang tidur di kelas.
Makanya tidak salah kalau masa SMA adalah masa yang paling sulit dilupakan dan paling mudah dikenang. Sebagai anak yang sudah melewati masa pubertas, mereka cenderung melakukan hal-hal aneh dan tidak masuk akal. Apalagi kalau guru yang mengajar tidak sesuai dengan kriteria guru yang mereka inginkan. Guru yang hampir pensiun, ceramah melulu, dan selalu memberi tugas individu, sudah deh semuanya bertransformasi menjadi anak-anak aneh, melebihi anehnya Mr.bean yang diperankan oleh Rowan Atkinson.
“Udah, nih?” Subhan memastikan. Tanganya meraba-raba meja mencari keberadaan pulpen entah milik siapa, berpura-pura sedang menulis sambil terus memejamkan mata. “Awas kalau sampai ketauan, berarti gambar lo jelek banget”
Tidak ada sahutan selain suara bu Marta didepan sana yang terdengar samar-samar. Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya Subhan lakukan, melainkan setiap kali mata pelajaran sejarah. Boro-boro belajar, mendengar kata sejarah saja sudah membuat perutnya mual. Beruntunglah Subhan karena kebetulan Bu Marta memiliki rabun jauh. Dia mungkin juga kurang memperhatikan murid yang duduk di dekat dinding.
“Ada-ada aja tuh kelakuan temen lo” Fikri dari meja seberang menyingkut lengan Aga “Dia pikir, bu Marta juga buta warna apa?” Tanyanya, tertawa kecil.
Aga mengangkat kepala dari bukunya, mengarahkan pandang melihat salah satu murid di ujung sana. Sebagai ketua kelas Aga tidak mampu memahami kelakuan teman sekelasnya yang satu itu. Bukan yang itu saja, hampir semuanya tidak bisa ditebak apalagi diatur. Tidak jarang, dirinya ikut kena semprot guru-guru gara-gara kelakuan kocak mereka yang bebal. Nasib ketua kelas memang seperti itu, kalau bukan jadi anak buah ya jadi pelampiasan guru-guru.
Cowok itu hanya geleng-geleng kepala lalu mencelutuk pada Fikri. “Temen lo juga kali”
“Gila nggak, gua temenan sama dia. Kerjaannya jailin orang mulu, dijailin balik marah-marahnya ancam lapor orang tua. Anak mami atau anak brandalan tuh?”
Aga tidak mau menanggapi tawanya Fikri. Kepalanya kembali kedepan melanjutkan pelajaran. Baginya sekarang, segala sesuatu yang yang berkaitan dengan keanehan di dunia ini tidak patut untuk dipikirkan. Cukuplah alam yang bekerja untuk menyelesaikannya, dia tidak perlu ikut campur.
“Han, subhan... Bu Marta jalan kesini” Rizki yang diberi gelar jangkrik itu menyenggol lengannya. “Gila lo, tidurnya cepet amat kayak kebok aja”
Tepat saat Subhan terdengar mendengkur kecil Bu Marta berdiri di depan meja mereka. Bu marta melipat tangannya di dada dan masih berdiri memperhatikan kelakuan anak muridnya yang satu itu. Rizki bungkam, menutup mulutnya rapat-rapat. Bernafas saja rasanya sudah terintimidasi dengan tatapan tajam seperti kucing itu.
“Subhan!”
Subhan sempat kaget, tubuhnya merespon sepersekian detik, namun kembali seperti semula. Matanya masih belum terbuka dan belum ada tanda-tanda dia akan bangun. Rizki meringis tanpa suara, ementara anak-anak yang lain menahan tawa setengah mati.
Bu Marta menarik nafas panjang, dan diujung hembusannya suaranya keluar menggema seperti toak masjid “Muhammad Agisna Subhan! Bangun kamu!!!”
Refleks matanya terbuka lebar, tubuhnya tegak seketika. Subhan mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya tersenyum miris. Bu Marta mempelolotinya dengan seribu satu kejengkelan. Dua tangannya kini sudah berada di pinggang.
“Sudah ibu peringatkan, jangan pernah tidur dijam pelajaran ibu! Pantes saja nilai kamu selalu dibawah kkm kalau kerjaan kamu cuma bisa tidur dan nyontek” Bu Marta membara
Subhan ingin menjawab namun segera diserobot mulut Bu Marta beserta hukumannya “Apa? Mau mengelak lagi? Pokoknya ibu tidak mau tau, mulai hari ini dan senin berikutnya kamu harus duduk di depan di samping ibu!”
“Tapi kan bu—-“
“Lakukan permintaan ibu atau kamu gagal mata pelajaran ibu” putus bu Marta dengan nada final saat berbalik badan meninggalkan meja mereka.
Duduk didepan? Disamping meja guru? Kenapa tidak sekalian saja duduk semeja dengan guru atau jadi gurunya sekalian. Subhan mendesah frustasi.
“Lo kenapa nggak bangunin gua sih?” Sengitnya pada Rizki “Bener gua bilang kan, gambar lo jelek. Makanya ketauan”
“Ya lo ada-ada aja, minta gua gambar mata pakai pulpen biru. Kalau merah kan mending, ada aura menakutkannya. Kayak hulk kalau lagi marah”
Dua orang yang duduk dibelakang mereka langsung terkikik geli mendengar Rizki. Beberapa yang lainnya menggelengkan kepala dan Subhan hanya bisa pasrah menelungkupkan kepala. Mau tidak mau setelah itu, Subhan harus mengikuti perintah Bu Marta yang menurutnya adalah satu jalan menuju kegagalan yang lebih kentara. Siapa sangka duduk disebelah guru akan membuat otak ecer, malah semakin membuatnya buta pelajaran karena terus diperhatikan.
Dua puluh menit setelahnya bel dibunyikan, jarum jam tepat menujuk angka tiga. Anak-anak bersorak gembira seperti mendapat hadiah ulang tahun. Bahagia mereka memang sesederhana Bu Marta mengucapkan salam penutup pelajaran.
“Ga, lo jadi nemenin gua beli skateboard kan?”
“Nggak janji ya. Tapi Insha Allah bakal diusahain” balas Aga sibuk memasukkan kembali barang ke dalam tas. “Lo pulang bareng gua atau naik angkot nih?”
“Bareng lo lah. Masa gua naik angkot kayak anak cewek aja”