Langit pagi itu mendadak gerimis. Anak-anak yang sudah siap dengan pakaian olahraga lengkap, mau tidak mau harus kembali kekelas. Karena itu Pak Ihsan selaku guru mata pelajaran mengintruksi muridnya untuk membagi kelompok, dia akan menunjuk murid secara berurutan dan murid tersebut harus mengucapkan angka satu atau dua sesuai dengan urutannya. Bagi murid yang kebagian angka ganjil berarti akan tergabung dalam kelompok ganjil, begitupun dengan angka genap. Katanya membuat anak-anak mendesah, berhubung mereka banyak yang tidak satu kelompok dengan temannya
Savira menengok kesebelah kiri, memperhatikan garis wajah Eva dari samping saat cewek itu menunduk menulis sesuatu. Savira berpikir sebenarnya Eva itu sangat cantik, hanya saja caranya berpakaian sedikit berbeda dengan anak lainnya. Sesaat kemudian, Savira kembali kedepan waktu mendengar Pak Ihsan bicara.
“Oke tanpa panjang lebar, saya jelaskan, bahwa daftar nama kelompok yang masih dicatat Siti adalah kelompok yang akan digunakan untuk ujian praktik akhir sekolah. Kita akan melakukan praktik lapangan permainan bola Voli sebagai nilai ujian mata pelajaran olahraga. Dan besar kemungkinan kelompok yang menang akan ditanding ulang dengan kelompok dari kelas lain untuk acara Class Meeting sebagai perwakilan kelas.” Tutur Pak Ihsan lantang, sembari mengedarkan pandang memandangi murid-muridnya. “Dan berhubung diluar cuaca sekarang tidak mendukung, saya akan memberi kebebasan pada kalian untuk beraktivitas masing-masing selama dua jam mata pelajaran saya.” Ucapnya spontan dipotong anak-anak dengan bersorak gembira. Pak Ihsan menepuk tangan, berusaha untuk menghentikan itu sebelum melanjutkan “Tapi tetap dengan syarat, kalian tidak boleh pergi ke kantin sebelum jam istirahat dibunyikan. Paham?”
“Paham pak” seru anak-anak bersamaan
“Oke. Siti saya tunggu daftar namanya di kantor. Dan anak-anak, selamat pagi”
“Pagi pak” balas mereka sangat bersemangat. “Tetap jaga kesehataan pak,” celutuk salah satu murid “Jangan capek-capek. Jangan lupa makan siang, tetep bahagia pak!” sahut lainnya tidak mau kalah.
“Oke temen-temen, kita mulai” Zudin berdiri, memberi koneksi pada teman laki-lakinya. Anak-anak bangkit dan siap beraksi
Dan kalau sudah berhubungan dengan kebebasan, kelas pasti akan berubah jadi gaduh dan berantakan. Kursi berpindah kesana kemari, meja-meja didempetkan menjadi satu ditengah-tengah. Biasanya sudah dibooking khusus oleh para anak laki-laki yang ingin bermain kartu. Sumber keributan utama ada di sana. Siapapun yang kalah, wajahnya wajib dicoret pakai bedak bayi—yang sudah dicampur dengan air hingga jadi bedak cair—-yang entah mereka dapatkan dari hasil menyolong dari tas para ladies atau sengaja patungan untuk membeli. Sementara barisan terdepan, dipenuhi geng perempuan yang suka menggosip sambil memakan camilan keripik. Meskipun diantara mereka masih ada sekelompok kecil anak polos nan alim, mereka yang lebih memilih mengganti pakaian dan duduk disisi kosong dipojokan untuk membaca buku, kelas XII tetap menjadi kelas yang paling ajaib dalam sepanjang sejarah. Sudah mau perang, belum juga mengasah parang. Sudah mau ujian, belum juga giat belajar. Mereka malah semakin memperlihatkan tingkah laku udik mereka.
Bingung. Hanya itu yang ada dalam pikiran Savira saat itu hanyalah itu. Suasana kelas demikian bukannya membuat Savira semakin mudah beradaptasi, malah semakin membuatnya frustasi. Belum lagi, Eva yang tidak pernah mau diajak bicara sejak semalam. Rasanya sangat canggung dan aneh. Ditambah lagi, tidak ada yang mengajaknya bergabung dari beberapa geng di kelas.
“V-va?” Ragu-ragu Savira menegur cewek disebelahnya. “Kamu nggak,” kalimat Savira terjeda begitu cewek itu tiba-tiba beranjak. “gabung sama mereka?” Sambungnya melongo melihat kepergian Eva.
Savira terdiam
“Vir?” Tegur Refal membuat Savira menoleh. Cowok pindah duduk menempati kursi kosong di depannya. “Mau ke perpus bareng saya nggak. Daripada kamu kayak orang asing disini, sendirian”
Savira tersenyum getir. “Kamu nggak mau ngabung sama mereka?” Tanya Savira terlihat lugu
Refal tertawa kecil “Buat apa? Udah tiga tahun saya bermain kayak gituan, bosen. Daripada ngurusin permainan SD saya lebih milih juga berubah sikap kayak Adul” Refal menunjuk seseorang dengan dagunya, membuat Savira mengikuti arah pandangnya secara otomatis.
Sadar sedang diperhatikan, murid yang dipanggil Adul itu menoleh. Dia satu-satunya murid laki-laki paling culun sekaligus pintar di kelas. Keculunannya terlihat dari sisiran rambutnya yang licin, katanya terbiasa banyak mengenakan minyak rambut sejak kecil. Anak itu duduk sebangku dengan Agis, cowok unik yang malah paling heboh bermain kartu.
“Hey, sob” tegur Refal mengangkat tangan “Apa kabar?”
Anehnya, mendengar itu Adul jadi salah tingkah. Cowok itu terlihat gerogi dan langsung kembali menatap buku. Seolah-olah, Adul merasa bersalah memperhatikan keduanya. Tidak lama terdengar suara Refal tergelak, Savira melihat cowok itu geleng-geleng kepala.
“Kayak gitu tuh anaknya, kerjaannya baca mulu. Nggak kebayang deh kalau saya bertransformasi jadi adul kayak gimana. Pasti bakalan heboh banget, ya udah yuk keperpus aja”
“Nggak papa nih?” Tanya Savira, ambigu.
“Nggak papa lah. Siapa juga yang ngelarang kita buat kesana” sahut Refal “Kenapa, kamu takut jadi pusat perhatian karena jalan bareng sana ke sana?” Tanyanya lagi. “Tenang aja, mereka nggak bakal bully kamu kok. Saya jamin, deh. Janji nggak bakal ada yang ngusik apalagi sampai ngangguin kamu gara-gara saya” celutuknya berusaha menyakinkan.
Sekiranya Savira merasa yakin, mereka bangkit dari kursi. Refal berjalan lebih dulu memberi jejak disusul Savira di belakangnya. “Kalau ada yang cariin, gua ke perpus” Refal menepuk pundak Agis beberapa kali saat melewati tubuhnya.
“Sippp bos qu!”
Lalu, Refal dengan gantleman berhenti di depan pintu, menunggu Savira sejajar dengannya baru mengikutinya berjalanan disamping. Perlakuan Refal itulah yang membuat Savira sedikit risih. Bola mata Savira melirik sedikit kesamping, dimana seorang cowok yang tingginya setara dengannya itu berjalan santai seraya menenggelamkan tangan di kedua saku celana.
“Eva, anaknya emang gitu ya?” Kata Savira pelan mencoba membuka obrolan.
“Ya gitu, cuek, judes, dan susah banget buat ditebak. Emosinya yang kadang naik turun buat kita-kita kurang suka bergaul sama dia” Mendengar itu Savira mangut-mangut sendiri. “Kenapa emangnya? kamu udah mulai risih duduk semeja bareng dia?” Lanjut Refal bertanya sambil menengok kesamping.
Savira mengangkat dua alisnya sedikit kaget “Nggak, nggak gitu juga sih... Aduh, maksud aku tuh...” Savira sudah membuka mulutnya namun urung bicara saat ada anak yang berpapasan dengan mereka. Savira berubah khawatir.
“Kamu penasaran” tebak Refal cepat
Savira memalingkan wajah, tidak mau menatap Refal. Takut-takut dianggap aneh karena terlalu penasaran dengan kehidupan Eva. Refal sepertinya juga sudah berhasil membaca itu di raut wajah Savira. Refal lagi lagi tersenyum dengan.
Dan Savira sengaja tidak melihat lengkungan itu.
“Boleh saya simpen nomor handphone kamu?” Savira mendengar Refal bicara diperjalanan menuruni anak tangga “Kali aja kamu perlu tau beberapa hal tentang Eva” bujuknya beralasan.
Savira mengangguk kecil, tanpa berpikir panjang mulutnya melafalkan dua belas digit angka nomor pribadinya yang langsung dicatat Refal. Setelah mengucapkan angka terakhir, tidak sengaja Savira mendengar Refal bergumam kecil “Cantik”
“Karena terlalu mudah dihafal, kan?”
“Bukan” Savira menoleh “Maksud saya, kamunya yang cantik” ungkap Refal begitu saja.