“Nak, ibu minta tolong, kamu kembaliin buku-buku ini ke perpustakaan ya. Bilang aja sama penjaganya dari Ibu” begitu kata Bu Nisa pada Raga
“Baik, bu. Habis ini akan saya kembalikan” ujarnya memandang guru itu keluar kelas.
Raga belum menyelesaikan sesi catat mencatatnya saat bel pergantian pelajaran berbunyi. Lagi-lagi tugas semacam itu dibebankan kepada ketua kelas. Jabatan itu memang aneh kebangetan, dia yang memiliki jabatan tertinggi dia malah jadi anak buah satu kelas. Siapa lagi yang lebih dikenal guru kalau bukan ketua kelasnya?
“Semangat, Ga!” Seru Fikri waktu Raga bangkit dari kursinya. Cowok itu cepat melempari Fikri dengan tip-ex. Fikri memang suka kelewatan membiarkan Raga mengerjakan tugasnya sendirian, giliran soal ujian, dia yang paling utama meminta bantuan.
“Kalau ada Pak Rahman, titip tugas gua didalam tas. Bilangin gua izin keperpus dulu”
“Iya, bawel. Takutan banget sih image jelek depan guru”
“Bukannya gitu, masalahnya lo biasanya kelupaan sama tugas gua, yang ada gua dianggap nggak ngerjain tugas. Kayak nggak tau pak Rahman aja”
“Iya, iya. Inget gua inget”
Raga sudah hafal kelakuan Fikri, kalau tidak diingatkan jelas tidak akan ingat. Berbekal tangan kekarnya, cowok itu mengangkat sepuluh buku sekaligus tanpa beban. Raga berjalan dengan santainya menyusuri koridor sampai ada beberapa yang memperhatikan, setiap kali melewati kelas-kelas yang pintunya dibiarkan terbuka. Murid kelas sepuluh banyak yang histeris.
Kendati gesture tubuhnya yang menawan, wajahnya yang spesial atau kacamata bulatnya yang menggemaskan, tetap tidak menjadikan Raga sadar pesona. Tidak sedikit gadis yang menyatakan perasaannya, baik secara langsung ataupun surat membuat Raga melirik masa remajanya untuk bersenang-senang. Jika ditanya, jawabannya masih sama; cewek dan cinta itu sebelas duabelas rumitnya. Nggak bisa dimengerti kayak rumus matematika. Berhubung sekolahnya telat dua tahun, Raga benar-benar tidak main-main dengan ucapan itu.
Saat baru tiba di depan pintu perpustakaan, Bu Neli sang penjaga gudang buku itu sudah menyambutnya dengan celoteh andalannya. “Eh mas ganteng balik lagi. Nggak bosen bolak balik bawa buku terus mas?” Raga tersenyum mendekat. “Kiriman siapa ini?”
“Ibu Nisa. Saya taroh disini aja ya, mbak” balas Raga dengan logat jawa yang lebih kental.
“Owalah. Jangan disini to, aku lagi banyak kerjaan, piye. Balikin langsung ketempatnya, tak ceklist langsung nih”
Senyum itu lenyap, berganti wajah datar. Matanya menyimpit menatap penjaga perpustakaan yang belum genap tiga puluh tahun itu sibuk menulis. “Sudah diceklist. Ayo buruan, kembalikan sana” ujarnya cenderung menyuruh daripada meminta tolong. Raga mempertajam tatapannya yang masih belum dibalas. “Ayo dong mas. Kalau masnya diam di depan sini, bagaimana aku bisa bekerja dengan baik. Konsentarasi aku buyar nih, buyar” protesnya berpura-pura marah karena Raga masih berdiam diri. Meskipun cowok itu tau, bibir Bu Neli menahan tawa setengah mati.
“Mbak e mbak e” senandung Raga “Yang di gajih siapa yang bekerja siapa? Cewek emang ribet ya. Dasar cewek. Aduh cewek, cewek”
Setelah gagal meledakkan tawa penjaga perpus itu, akhirnya Raga mengalah. Tangannya kembali mengangkut setumpuk buku yang sama dan berjalan ke lorong yang sudah tidak asing dia hampiri. Tidak heran, Raga seakrab itu dengan penjaganya kalau dalam sehari saja bisa sampai lima kali dia berkunjung. Bahkan secara tidak langsung Raga dianggap sebagai pegawai baru disana oleh Bu Neli karena anaknnya yang terlalu penurut dan selalu membantu siapapun tanpa pandang bulu. Bu Neli suka sekali memanggilnya ‘mas ganteng’ saking gemasnya dengan wajah Raga yang katanya mirip Herry potter generasi baru.
“Fal? Sori ganggu nih, gua ada yang mau diomongin sama lo Fal. Penting” Raga yang masih belum selesai merapikan buku menangkap suara itu dari tempatnya berdiri. “Masalah apa?” Dia tau yang menyahut itu Refal, suaranya benar-benar khas dalam otaknya.
“Lo bisa ikut gua bentar?”
Beberapa buku di dekatnya tiba-tiba jatuh, fokusnya tidak terjaga. Ada sesuatu yang dia pikirkan.
Buat ulah apa lagi anak itu?
Raga cepat merapikan dan berpindah ke rak berikutnya untuk bisa menguping. Sayangnya, nihil. Hanya terdengar derap kaki yang kian menjauh membuatnya mengira Refal sudah tidak ada di sana. Raga berdecak nyaris tanpa suara.
Berbagai kemungkinan muncul di dalam benaknya. Pelan-pelan menghilang dan digantikan oleh ingatannya akan sosok seorang pria bertubuh rendah dengan uban menyelubungi kepalanya. Pak Rahman. Bahasa Inggris. Matanya memicing sejenak. Disusul dengan ingatannya yang lain tentang kamus. Argghh, iya. Mungkin dia bisa membujuk Bu Neli untuk meminjamkannya selama dua jam pelajaran, setidaknya dia bisa terbantu sedikit untuk mencari vocabullary yang menyulitkan itu.
Tangannya meraih kamus, benda itu berada di deretan buku paling atas. Wajar, karena memang buku itu hanya boleh digunakan di dalam perpustakaan dan jarang terjamah karena anak-anak zaman sekarang lebih memilih menggunakan handphone—-translate—untuk mengartikan sesuatu dibanding kamus. Saat ingin meraihnya, buku lain ikut tertarik. Raga berusaha membenarkan posisinya dan sialnya kamus itu malah terdorong kebelakang lantaran tangannya yang kurang tanggap. Buku itu terjatuh dan terdengar menghantam sesuatu yang disusul suara ringisan seseorang.
“Astagfirullah! Maaf-maaf gua nggak sengaja” pekiknya spontan berlari ke sebelah, menemukan seorang cewek berdiri bertopang punggung pada rak memegangi kepalanya.
“Gua bener-bener minta maaf. Serius, tadi gua nggak nyangka bukunya bakal jatuh kesebelah dan gua juga nggak tau kalau ada orang. Gua,” Katanya menahan suara saat tidak sengaja melihat lengan baju cewek itu, mendapati badge merah yang semakin membuatnya menepuk jidat sendiri. “Aduh, maaf. Maksud saya, saya minta maaf kak”
Cewek itu menyisipkan sebagian rambutnya yang menutupi wajah sebelum mendongak. “Saya minta maaf kak” ulang Raga lagi
“I-iya” Dia mengangguk samar, matanya segera tidak teralihkan dari wajah Raga, membuat cewek itu benar-benar mengekspresikan seseorang yang sedang terkesima pada pandangan pertama.
“Kakak murid baru, ya?” Tanya Raga berusaha menetralisir keadaan, perasaan bingung sudah menjalar keseluruh tubuhnya. Pasalnya cewek itu tidak mau mengalihkan pandangannya. Hal yang selalu Raga hindari dari sebuah tatapan mata.
“Kak?” Tegur Raga saat cewek itu memperhatikan lengannya. “Kakak nggak papa kan? Sekali lagi saya minta maaf. Saya bener-bener nggak sengaja”
“Kamu—yang waktu itu ada di mall kan?” Tunjuk cewek itu dengan telunjuknya.
“Mall?”
“Toko buku, maksudnya”
Raga mengangkat alisnya, sedikit kaget. Cowok itu mencoba mengingat hingga akhirnya terbesit satu kejadian dimana dia pernah bercengkerama dengan seorang cewek di tempat yang dia sebutkan. Raga tidak pernah berpikir itu cewek yang dia lihat sekarang dihadapnnya. Dia memang terlihat berbeda kalau sudah mengenakan seragam sekolah.
Raga mengamati penampilan cewek belasteran itu secara sekilas. Kebingungannya semakin berkecamuk, dia selalu mundur soal beginian. Lantaran tatapan mata cewek itu seolah menghiptotisnya tanpa kata-kata. Membuatnya terdiam, membeku seperti sebongkah air yang dimasukkan kedalam frezer dengan suhu tertinggi yang pernah ada. Raga khawatir.
“Oh jadi, itu kakak ya?” Tanyanya setelah benar-benar yakin
Savira mengangguk.
Raga berdehem canggung. “Jadi kepalanya nggak sakit lagi kan, ka?” Lirihnya menjaga suara.