Buta Hati

Ayu Tarigan
Chapter #2

Buta Hati - Bab II

Aku bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah sebelum berangkat menuju kediaman majikan baruku.

Ya, akhirnya aku tak punya celah untuk menolak menjadi pelayan pria itu, semoga saja tiga bulan ke depan berjalan dengan lancar tanpa ulah kejam pria bernama Max itu.

Aku menyusuri jalanan yang masih sepi, tapi aku tidak takut karena mengenal baik semua penghuni di perumahan sekitar sini. Kupacu langkah menuju gerbang yang menjulang tinggi tempatku mulai sekarang mengais rejeki.

Sesampainya di dalam, aku segera menuju kamar pria itu yang sudah kuhapal saat berjalan keluar kemarin. Kuketuk pintu dengan perlahan, lalu terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhku segera masuk.

Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah seorang pria gagah yang berdiri menjulang menghadap cermin dengan handuk menggantung di pinggang.

Lakahku berderap kaku, menghampiri tuan baru yang tak bergeming karena kehadiranku.

"Baru hari pertama bekerja sudah terlambat. Dasar tidak becus!" cercanya tajam.

Aku seketika membeku, melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul lima lewat dua menit. Hei, aku tiba tepat jam lima. Tapi berbelok sana-sini di rumah sebesar ini juga memakan waktu.

"Cepat siapkan bajuku!" titahnya bringas.

Langkahku terayun jengkel, membuka lemari besar berwarna kuning emas. Mataku seketika disajikan dengan jejeran rapi pakaian dari merk-merk ternama.

Aku mengambil satu stel jas berwarna hitam untuk diserahkan pada Tuan Max yang terhormat.

Dahinya mengernyit dalam dengan rahang menegang kaku. "Celana dalamku mana?" hardiknya keras.

Aku berjengit kaget. Apa tadi katanya? Celana dalam? Apakah benda keramat itu juga harus aku yang menyediakan? Atau perlukah kutambahkan popok untuk bayi besarku ini? Benar-benar menggelikan.

"Kau mendengarku atau tidak?" sentaknya lagi.

Aku buru-buru melarikan diri menuju lemari pria itu lagi, dengan gerutuan luar biasa pelan yang aku lontarkan sepanjang jalan.

Kutarik salah satu lipatan segitiga berwarna gelap itu. Eh, tapi tunggu dulu, aku mendapati sesuatu yang menarik di sini. Segera kusambar kain berwarna merah cerah itu dan kembali menghadap pada sang juragan.

Tuan Max menerimanya dengan gerakan kasar, wajahnya memerah seperti tomat yang terlalu matang.

"Tutup matamu dan berbaliklah!" perintahnya galak.

Aku menurutinya tanpa banyak protes, seraya menutup rapat mulutku yang mati-matian menahan tawa.

"Berbalik dan pakaikan baju untukku! " titahnya.

Kuputar tubuh dengan gerakan lambat, berusaha menahan perut yang mulai melilit karena meredam tawa hebat. Namun, saat kulihat pria itu berdiri menjulang dengan kedua tangan berkacak pinggang disertai celana dalam merah cerah menutupi bagian terlarangnya, aku tak dapat lagi menyembunyikan suara tawaku. Aku membungkuk seraya menekan perutku yang terasa kram.

Lihat selengkapnya