Hari telah berganti menjadi malam. Kimberly tengah menunggu kehadiran ibunya di ruang makan. Dia sengaja membuat makan malam tanpa menunggu Liza karena dia ingin ibunya datang tanpa dia minta sehingga dia bisa menanyakan alasan ibunya marah-marah dan mendadak mengusir Wulan. Meski dia yakin kalau ibunya berubah pikiran dari yang tadinya ingin tahu mengenai usahanya lalu mendadak tak setuju, dia tetap penasaran dengan alasan Liza. Setidaknya alasan itu bisa dia pertimbangkan apabila Liza memberi tahu. Namun, sudah sampai waktu menunjukkan pukul sembilan malam, ibunya tak kunjung datang.
Kimberly tak bisa tenang, ditambah sang ayah belum pulang. Kesar memang sering pulang terlambat tetapi saat ini dia membutuhkan bantuan pria itu untuk bicara dengan ibunya. Jika begini terus, dia bisa-bisa mengantuk dan jatuh tertidur hingga esok tak menemukan jawaban dari ibunya serta pertolongan dari ayahnya. Tapi, tentunya usaha tak ada yang mengkhianati hasil. Kimberly melihat ibunya keluar dari kamar, jadi dia segera menghampiri.
“Apa Lily sudah bisa bicara dengan Ibu?” Kimberly memperhatikan Liza yang mengambil buah apel lalu mengupas kulitnya. Kendati mendapat jawaban, dia hanya berakhir duduk melihat ibunya makan apel.
“Lily sudah memasak nasi goreng. Ibu tidak mau?”
Kimberly tersentak kaget saat Liza membanting pisau setelah selesai makan. Dia benar-benar takut apabila ibunya marah. “Apa Lily berbuat salah pada Ibu? Lily minta maaf kalau tidak pernah bercerita pada Ibu. Lily tak mau merepotkan Ibu.”
Liza menghela napas kasar. Dia menatap Kimberly yang tengah menunduk dalam. “Ibu tidak setuju dengan rencana usahamu. Sebaiknya kamu batalkan saja niatan itu.”
Kimberly ingin marah tetapi dia tahan sebab jika dia langsung emosi, segalanya hanya akan mempersulitnya. “Ibu, Lily ingin tahu alasan Ibu mengusir Wulan tadi. Jika ini masalah Ibu tidak setuju dengan rencana usaha yang Lily bangun, Ibu bisa bilang dan kita bisa berdiskusi mengenai kemungkinan yang tak Ibu suka.”
“Pokoknya Ibu tidak setuju,” balas Liza dengan tegas. “Ibu menguliahkanmu jurusan akuntansi agar kamu bisa bekerja di Bank. Kamu bisa menjadi pegawai negeri dan hidupmu akan makmur. Jika kamu tak ingin menjadi pegawai negeri tak apa, kamu bisa bekerja di tempat lain. Bekerja di bidang keuangan bisa meningkatkan ekonomimu, Nak.”
“Ibu,” ujar Kimberly lemas. “Aku sudah mengeluarkan banyak tenaga dan waktu untuk bisa membangun usaha impianku. Aku tahu, menjadi pengusaha memang tidak mudah. Banyak hal yang harus aku lalui. Tak hanya itu, aku sadar belum tentu usahaku akan berbuah manis, tapi, Lily sangat ingin membangun usaha butik ini, Bu. Lily sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyukseskan usaha Lily. Jadi, Bu, tolong izinkan Lily.”
Liza tak bicara, apalagi dia tahu Kesar sudah pulang. Dia menyambut kedatangan suaminya, menyalami tangan dingin itu lalu membuntuti Kesar masuk ke kamar.
“Tadi aku melihatmu dan Lily bicara sangat serius. Kalian tidak sedang merencanakan sesuatu kan?” Kesar sempat memperhatikan istri dan anaknya ketika tengah berbincang di ruang makan. Dia tadinya ingin ikut bergabung tetapi Liza sudah lebih dulu menemuinya.
“Tidak ada yang kami rencanakan. Tapi ….” Liza tak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita. Dia bisa melihat Kesar tampak ingin tahu.
“Kenapa kamu tak melanjutkan kalimatmu, Liza? Kamu bisa menceritakan apa pun padaku. Bukankah kamu selalu bilang padaku untuk mengatakan segalanya serumit apa pun?” Kesar duduk di sebelah Liza dan menggenggam tangannya. “Ada apa, Istriku?”
Liza cemas bukan main. Dia menatap Kesar dengan rasa takut dan khawatir. “Lily ingin membuka usaha butik, Mas.”