“Arini." Pemuda dengan rambut belah pinggir kiri itu mengambil napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Boleh Mas Joko tahu jawabanmu sekarang?”
Arini mengembuskan napas pelan. Ia tak bisa lagi mengundur waktu untuk menunda memberi jawaban. Sudah tiga kali Joko meminta jawaban atas lamaran dua minggu lalu. Mengejutkan Arini yang tidak pernah siap akan pernikahan saat itu. Meski usianya hampir delapan belas tahun, di mana gadis-gadis di desa seusianya sudah menikah dan memiliki anak, Arini masih belum ada kepikiran untuk melepas masa lajangnya.
“Arini. Lihat, Mas sudah punya motor. Mas baru saja membelinya kemarin walaupun nyicil. Bagus kan motornya?” Joko membanggakan motor di depannya.
Arini mengangguk sembari mengamati motor Astrea Supra keluaran Honda tahun lalu. Bisa dibilang motor bebek bewarna hitam dengan stiker hijau orange di depannya ini terbilang baru, karena belum ada setahun. Banyak orang yang mengincarnya, bahkan sampai rela kredit di tengah keadaan negeri yang sedang krisis. “Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Mas. Arini senang mendengarnya. Selama ini kan Mas Joko pengen banget beli motor itu.”
“Kalau dipikir-pikir, Mas Joko ini udah mapan lho, Rin.” Joko menatap Arini lembut. Matanya berbinar laksana menatap berlian. Joko tidak dapat memungkiri rasa kagumnya pada gadis di sampingnya, Arini Saraswati. Gadis cerdas dengan pendidikan tinggi di desa. Arini adalah satu-satunya gadis lulusan SMA di desa Undaan Tengah gang lima belas ini. Banyak pemuda yang mengincarnya. Selain karena tamatan SMA, Arini juga cantik khas Indonesia. “Mas udah punya rumah. Ya, walaupun nggak besar, tapi bisa ditempati dua orang. Mas punya pekerjaan tetap, karyawan di pabrik PURA. Dan sekarang udah punya motor.”
Mendengar Joko membanggakan dirinya sendiri sembari menyebut apa yang dimiliki membuat Arini risi, tapi ia tetap tersenyum. Tidak perlu disebutkan, Arini dan seluruh warga desa Undaan Tengah sudah tahu. Pasalnya, setiap kali Joko punya rumah atau diterima kerja di pabrik, atau yang terakhir ini bisa membeli motor, Bu Siti pasti langsung koar-koar membanggakan anaknya. Tiap hari nimbrung di penjual sayur keliling, bukan membeli bahan untuk dimasak, hanya sekadar bercerita tentang anaknya yang sudah memiliki ini dan itu. Begitulah yang sering diceritakan ibunya selepas membeli sayur atau ikan.
“Arini mau nggak jadi istri Mas Joko?”
Arini langsung menatap Joko dengan mata membulat sempurna. Ia tak menyangka Joko ingin menjadikannya istri. Seolah otaknya sedang buntu, Arini tak dapat berpikir. Ia tak tahu harus memberi jawaban apa, yang pasti di hati terkecilnya ia menolak. Ia tak memiliki perasaan sedikit pun pada Joko. Ia tak ingin berpikir panjang. Ia ingin langsung menolak. Namun, ia masih memiliki hati nurani sebagai manusia yang tidak ingin menyakiti sesamanya.
“Mas Joko ingin kamu jadi istri dan ibu dari anak-anak Mas." Joko menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Arini mau terima lamaran Mas yang belum resmi ini?”
Gadis berambut hitam bergelombang itu menunduk. Sorot matanya mulai padam. Dengan lirih ia menjawab, “Maaf, Mas. Boleh Arini minta waktu untuk berpikir?”
Ada guratan kekecewaan di wajah Joko. Ia pikir akan langsung diterima setelah memiliki semuanya, rumah, motor, dan pekerjaan mapan. Terlebih ia juga dekat dengan Arini dan keluarganya. Tak ia sangka, Arini masih membutuhkan waktu untuk menjawab lamarannya. Joko jadi ragu dengan perasaannya sendiri, sepertinya cintanya bertepuk sebelah tangan.
“Baiklah jika memang itu yang Arini inginkan. Mas Joko akan memberi waktu untuk Arini berpikir, tapi Mas Joko tidak bisa menunggu lebih lama. Mas ingin segera menikah dengan Arini jika memang diterima.”
Sejak itu, hari-hari Arini dipenuhi dengan perasan gelisah. Ia ingin sekali menolak lamaran Joko, tapi ia tidak tahu harus memulainya dari mana. Ia ingat betul salah satu ceramah Kiai Wursita di masjid. Jika datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, nikahkanlah. Jika kalian tidak melakukannya, akan datang fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.1
Mengenal Joko selama ini cukup untuk Arini menyimpulkan bahwa laki-laki itu orang baik. Laki-laki itu selalu menolong orang jika diminta tanpa pernah bilang tidak. Kalau kata warga desa, selama ada Joko semuanya beres. Dari segi materi, Joko juga sudah sangat mapan. Punya rumah, kendaraan, dan pekerjaan tetap. Namun, hati Arini masih mengganjal. Sejauh yang ia tahu Joko tidak pernah salat. Setiap kali ia mengingatkan untuk salat, laki-laki dengan tinggi 165 itu menjawab, nanti saja, Rin kalau sudah tua.