Butiran Tasbih Arini

Diyah Ayu NH
Chapter #2

Firasat

Di rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran enam kali enam meter, Arini menemani Sutini yang terus merintih kesakitan. Bu Supeni sudah keluar dari rumah Sutini sejak kedatangan Arini, untuk memanggil suaminya yang masih di masjid. Berada di rumah yang kecil untuk tempat tinggal Sutini dan dua anaknya, terasa menyesakkan bagi Arini. Menurutnya rumah ini tak layak untuk hunian ibu dengan anak yang berusia tiga tahun dan satu tahun.

Arini tahu betul bagaimana kehidupan Sutini yang seusia dengannya. Di usia empat belas tahun saat itu, Sutini yang bekerja di pabrik konveksi setelah lulus SMP memutuskan menikah dengan Bayan. Jarak usia keduanya enam tahun, tapi Sutini tetap yakin dengan pilihannya untuk menikah.

Menikah dengan Bayan membuat Sutini tak merasakan kebahagiaan. Meski kelihatannya Sutini hidup dengan nyaman tanpa keluhan pada tetangga dan keluarganya, Arini sering melihatnya menangis di belakang rumah. Entah apa yang membuat Sutini sering menangis, yang pasti Arini sering kali mendengar kasak-kusuk tentang Sutini. Di satu tahun pertamanya menikah, Sutini dituduh mandul lantaran tak kunjung hamil oleh mertuanya. Sang ibu, Supeni juga tak kalah menuduhnya, bahkan meminta Sutini untuk ke sana ke mari ke dukun-dukun bayi yang terkenal agar bisa hamil.

Padahal Bayan yang berprofesi sebagai nelayan jarang pulang. Di tahun pertama setelah menikah dengan Sutini saja, laki-laki berambut gondrong yang sering dikuncir kuda itu tinggal di rumah hanya dua bulan dalam setengah setahun. Selebihnya dihabiskan untuk mencari ikan. Namun, semua kesalahan dilimpahkan kepada Sutini. Sutini jadi bulan-bulanan omongan warga.

Di awal tahun kedua pernikahan, Sutini yang tiba-tiba pingsan ketika membantu Bu Supeni menanam padi di sawah, dinyatakan hamil oleh dukun bayi. Semua orang kegirangan. Rumor Sutini mandul pun hilang seketika, tapi tampaknya Sutini tidak bahagia. Perempuan berambut lurus sebahu itu justru merasa kesepian. Setiap pagi ia akan duduk di kursi panjang depan teras rumahnya sembari bengong berjam-jam.

Arini pernah mendekati dan menyapa Sutini, tapi perempuan yang sedang hamil anak pertamanya itu tak begitu antusias. Ketika Arini mengajak bicara, Sutini hanya beroh ria. Hingga akhirnya Arini tahu jika teman satu SMP dengannya itu kesepian lantaran sang suami yang sering pergi mencari ikan. Ketika Bayan pulang, wajah Sutini pasti sumringah dan membeli banyak barang di toko kelontong yang dijaga Arini.

“Mas Bayan pulang, Rin, aku mau masakin yang enak-enak buat Mas Bayan. Tolong ya kamu ambilin barang-barang yang aku tulis,” ucapnya antusias.

“Siap, Tin. Tunggu, ya.” Arini pun mencarikan barang-barang yang sudah ditulis Sutini di kertas kecil. Sementara Sutini melihat-lihat makanan ringan di rak atas etalase. Sesekali perempuan itu akan meminta diskon karena telah membeli banyak barang.

Begitulah Sutini setiap kali suaminya pulang. Namun, itu hanya sementara. Ia akan kembali bengong di depan rumah saat suaminya pergi berlayar. Arini bahkan tak tega. Setiap kali Sutini melahirkan, suaminya tidak pernah ada. Bahkan kelahirkan anak ketiganya kali ini, Bayan pergi satu minggu yang lalu. Dan Arini pasti yang menemani Sutini ketika melahirkan. Pasalnya Sutini selalu menolak ditemani orang lain termasuk ibunya sendiri.

“Sakit, ya, Tin?” Arini mengelus perut buncit Sutini. Ia dapat merasakan perut Sutini itu mengeras. “Sabar, ya. Nanti kalau udah lahiran pasti lega.”

Di sela-sela rintihannya, Sutini menjawab, “Makasih, ya, Rin. Kamu sudah mau menemaniku.”

“Iya, sama-sama. Kalau kamu butuh sesuatu bilang saja.” Arini menatap meja kosong di depannya. Tak ada apa-pun di atasnya. “Kamu mau minum?” tanyanya, ia khawatir jika Sutini kehausan.

“Tolong, ya, Rin,” pinta Sutini. Di tengah menahan rasa sakitnya, ia bersyukur memiliki teman seperti Arini di desa ini. Arinilah satu-satunya orang yang tidak mengguncingnya. Di saat teman-teman sebayanya ikut mengguncingnya, menuduhnya sebagai perempuan mandul, Arini tak pernah ia dengar ikut menggosip. Padahal bisa saja gadis itu ikut bergosip karena menjaga toko kelontong yang sering didatangi orang-orang untuk membeli kebutuhan pokok.

Arini pun bergegas ke dapur yang letaknya di belakang ruang tamu. Rumah mungil ini ada empat ruangan yang masing-masing dibatasi anyaman bambu. Ruang tamu bersebelahan dengan kamar untuk tidur, sedangkan dapur bersebelahan dengan kamar mandi. Arini membawa nampan yang berisi teko dan gelas plastik. Diletakkannya nampan tersebut di atas meja. Segera ia tuangkan air dalam teko ke gelas dan memberikannya pada Sutini.

Matur nuwun1, Rin.”

Lihat selengkapnya