“Mbak Arini! Mbak!” Gadis kecil dengan rambut pendek sebahu itu mengguncang tubuh Arini yang tertidur di atas sajadah. “Bangun, Mbak. Ayo, bangun!”
Arini yang terlalu lelah setelah menemani Sutini melahirkan dan pulang ke rumah pukul 03.00 dini hari masih tak merespon. Arini masih dalam dunianya. Wajar saja, sepulang dari rumah Sutini ia langsung salat Isya, kemudian tahajud dua rakaat, dan zikir hampir lima belas menit. Lalu membantu adiknya yang belajar matematika.
Adiknya, Maharani memang selalu begitu. Jika ada pekerjaan rumah, akan dikerjakan sendiri atau kerja kelompok, tapi jika ada soal yang tidak bisa dikerjakan, ia akan meminta bantuan dirinya di sepertiga malam.
Arini memaklumi cara belajar adiknya. Setiap orang memang memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Begitupun adiknya, menggunakan waktu sepertiga malam bukan untuk belajar pelajaran yang akan diajarkan, malah mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Setelah membantu adiknya sekitar lima menit, Arini baru mandi saat azan subuh berkumandang. Tak butuh waktu lama, cukup lima belas menit untuk mengguyur seluruh tubuhnya hingga bersih.
Tak ingin menunda lebih lama, ia salat subuh dua rakaat. Lalu lanjut membaca kitab suci Al-Quran. Walaupun ia ingin segera tidur, tapi ia tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sebagai murid dari Kiai Wursita, Arini terbilang cukup mahir dalam melantunkan setiap ayat dengan suara merdu. Ia bahkan beberapa kali memenangkan lomba murotal Al-Quran tingkat desa. Pak De yang merangkap menjadi guru ngaji itu selalu memuji Arini.
“Pak De bersyukur, selain masmu, ada kamu yang fasih membaca Al-Qur’an. Tiada nikmat yang luar biasa selain memiliki anak-anak salih dan salihah seperti kalian.” Kiai Wursita melepaskan kaca matanya, kemudian menggosoknya dengan kain yang cukup bersih, lalu memakaianya lagi. “Teruslah hidup bersama Al-Quran Arini. Dengan begitu Al-Quran akan menerangi hidupmu. Maka bangunlah sekarang. Arini!”
“Astagfirullahalazim!” Arini tersentak hingga bangun dari tidurnya.
“Mbak Arini kenapa?” Maharani sedikit terkejut. “Rani terlalu keras, ya, Mbak?” Maharani merasa bersalah karena membangunkan kakaknya terlalu kasar, pasalnya ia sedikit panik.
Arini bangun dari posisi tidurnya sembari mengucek mata. Ia memicingkan mata ke arah meja di depannya. Dilihatnya jam bekernya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Sontak saja, matanya sedikit membulat. “Ya Allah, Dek. Mbak bangun kesiangan ya?” Arini panik. “Aduh, bagaimana ini, Ko Xi Lin pasti menunggu.” Arini segera melepas mukenanya.
“Mbak Rini, tenanglah.” Maharani mencoba menenangkan.