Butterfly Effects: Je T'aime

Celestilla
Chapter #2

Mula-mula: Karena Kakak Tidak Boleh Menangis

Januari 2002

Hari ini aku pulangnya bagaimana?

Pertanyaan itu memenuhi isi benak anak perempuan berkucir dua yang duduk sendirian di atas ayunan. Tangannya sibuk memainkan tali tas. Sementara kedua bola matanya yang kecokelatan ditempa sinar mentari, bergerak-gerik mengikuti kepergian satu demi satu temannya di pelataran.

Sembari membiarkan tubuhnya mengayun ringan, selama beberapa lama ia bertahan. Menjadi saksi berkurangnya warga Taman Kanak-kanak Griya Ramah Nusantara oleh penjemputan.

Hingga perlahan keriuhan hengkang, menyisakan satu dua anak yang juga sedang menanti.

Panasnya. Aku masuk ke kelas saja dulu, deh, putusnya kemudian. Sinar matahari pukul sebelas mulai menyengat dan membuat gerah tubuh dalam balutan kemeja putih dan rompi oranyenya.

Ayunan itu memelan oleh ketiadaan dorongan. Engselnya berderit ketika satu-satunya penunggang beringsut, lantas berderap ke bawah teduh kanopi atap bangunan satu lantai. Sepatu berperekatnya ia tanggalkan sebelum memasuki kelas berbentangkan karpet nilon hijau dan berbentengkan dinding penuh lukisan warna-warni. Ruang kelas B1. Ruang kelasnya.

Kehadirannya mengusik Bu Siska—wali kelasnya. Wanita dengan rambut disanggul yang tadinya tengah sibuk menulis di atas buku-bukunya itu mengangkat kepala demi figur yang baru saja masuk dan mencipta suara-suara.

“Lho, Jelita belum dijemput, ya?”

Anak perempuan bernama Jelita menggeleng sambil memamerkan cengiran. Satu gigi bawahnya bolong secara alami. Membuat artikulasinya terdengar aneh. “Belum, Bu Guru. Aku mau menumpang gambar di dalam kelas, boleh ya, Bu, ya? Di luar panas.”

“Boleh, dong. Ini kan, kelas kamu. Belum dijemput, ya?” Mendapat sahutan berupa gelengan, sang guru lanjut berkata, “Memang lebih baik di sini saja dulu.”

Wanita yang lebih tua kemudian kembali memusatkan atensi pada buku-buku di atas meja. Jelita sendiri mengeluarkan krayon dan buku gambarnya dari dalam tas bergambar boneka barbie. Disusunnya baik-baik benda itu di atas karpet, sedang ia sendiri menelungkupkan tubuh dan mulai mengguratkan pensil, menggambar pemandangan alam.

Selama beberapa menit, dua perempuan berbeda usia hanyut dalam kesibukan masing-masing.

Jelita baru mengangkat kepalanya ketika gurunya mendekat dan bersuara lagi, “Jelita, Ibu ke kamar mandi dulu sebentar, ya. Boleh Ibu titip barang-barang Ibu di sini dan minta tolong untuk Jelita jaga?”

Gadis berkucir dua mengangguk mantap. “Boleh, Bu. Jelita bantu jaga.”

Ibu gurunya menghadiahkan senyum sebelum keluar kelas sedikit terburu. Sesuatu dalam perut wanita itu sepertinya tengah teraduk dan minta dikeluarkan.

Dalam kesendirian, Jelita mengangkuti barang-barang bawaannya untuk dipindahkan ke dekat barang gurunya. Dalam pikirannya, menjaga harus sedekat itu. Barulah ia mengambil posisi yang sama seperti sebelum ia pindah: menumpukan tubuh pada perut dan kedua siku, lalu lanjut menggambar dengan serius.

Keheningan dalam ruangan kelas itu hanya diisi dengan langkah kaki dan suara obrolan yang tidak banyak dan tak sebegitu mengusik dari luar. Maka keseriusannya terjaga penuh. Alangkah terkejutnya Jelita, ketika ia bermaksud mengubah posisi tubuhnya yang pegal dan menemukan bahwa ia tidak sendiri. Seseorang tengah berjongkok di samping tubuhnya. Mengamati pekerjaannya dengan raut polos. Seseorang yang bukan Ibu Guru.

Jelita mengerjap bingung. Dia tahu siapa anak itu. Namanya Gibran, anak kelas B2. Terkenal karena kerap jadi bahan puja-puji para ibu dari anak-anak perempuan. Jadi, aneh rasanya menemukan Gibran di sini.

“Ngapain kamu?” tanya Gibran.

Pertanyaan itu membuat Jelita merengut, makin bingung. Dia bangun dari posisinya dan terduduk di samping Gibran. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kamu di sini? Ini kan, bukan kelasmu. Sana pergi.”

Sejujurnya, Jelita cuma kesal lantaran pekerjaannya terinterupsi.

Tapi, bocah lelaki bernama Gibran tidak kelihatan merasa bersalah sama sekali.

“Suka-suka aku, dong. Tadi aku lewat, terus lihat kamu di sini. Kupikir kamu mau maling barang-barang Ibu Guru.”

Sontak saja Jelita tambah jengkel. “Aku tidak maling! Ibu Guru minta bantuan jaga barang-barang Ibu Guru, kok. Jangan sok tahu deh, kamu.”

Gibran terkekeh kecil sambil menggaruk kepala. “Iya. Sekarang kan, aku sudah tahu kamu lagi menggambar.” Ia mengedikkan kepala, menunjuk buku gambar Jelita. “Gambar kamu bagus. Kamu suka gambar, ya?”

Pembahasan yang mengungkit minatnya merekahkan senyum Jelita seketika. Ludeslah sudah kekesalannya tadi. “Iya. Kamu mau gambar juga? Aku bagi kertasnya.”

Lihat selengkapnya