Butterfly Effects: Je T'aime

Celestilla
Chapter #3

Satu: Cempedak Berbuah Nangka

2007

HAI, panggil aku Je. 

Kupikir, aku tidak akan berakhir dalam lingkungan elit. Kupikir, aku akan selamanya berenang dalam lautan manusia di institusi negeri hingga akhir masa studiku nanti. Sebab, aku anak manusia yang tahu diri. Aku anak manusia yang bisa memahami bahwa biaya sekolahku cukup memberatkan Mama dan Ayah.

Kenyataannya, justru gara-gara kengototan Ayah lah hingga aku bisa berakhir di sini. Ayah mati-matian menyekolahkanku di SMP ini. Sekolah negeri memang gratis. Tapi, ongkos pulang pergi saban harinya yang tidak murah. Berhubung Abang Jul bersekolah di sini juga karena tidak diterima di SMP negeri terdekat, maka biaya sekolah kami hanya dibayar satu. Poin plusnya, ongkos pulang perginya murah, sebab jarak dari rumah ke sekolah ini cukup ditempuhi dengan naik angkot sekali.

Hingga pada akhirnya, aku harus menerima fakta jadi lulusan sekolah negeri yang kemudian melanjutkan studi di sekolah swasta.

Sejauh mata memandang, tidak seorang pun aku kenal di sini. Baik dalam apel pagi tadi, maupun di dalam kelas yang sudah kutempati ini. Meski di mana-mana, manusia hanya pecahan dari satu spesies, dan ruang kelas isinya selalu itu-itu saja, tetap saja semua ini terasa asing. Lihatlah wajah-wajah yang belum pernah kulihat itu. Juga, aura kelas yang berbeda sekali dengan yang kutempati terakhir kali. Siapa mereka? Apa semua ini?

Namun, bagimanapun, segala hal yang baru akan berubah menjadi lama usai disepuh waktu. Dan semua hal asing akan selekasnya berganti status jadi familier, seiring aku menjalaninya.

Mari, kuperkenalkan padamu wahai sel-sel otakku, inilah masa SMP. Masa di mana masa remajaku dimulai. Masa yang konon merupakan masa terindah dalam hidup ini. Katanya, yang perlu kulakukan di sini adalah Mencari Trio Utama. (Bukan Tri Utami. Itu sih, nama penyanyi favorit Ayah) Mencari sahabat, mencari pacar, dan mencari nilai. Kalau bisa, akan kuusahakan tiga-tiganya adalah hal-hal terbaik. 

Maka, yang kubutuhkan saat ini cuma menunggu. 

Aku memang sedang menunggu bola api digelindingkan ke arahku, dengan tangan yang berkeringat dingin akibat rasa gugup yang dibauri antusiasme. Entah bagaimana penjelasan sains tentang dinginnya tangan setiap kegugupan mendera. Nanti kucari tahu kalau sempat.

Waduh. Teman sebelah kananku sudah selesai. Giliranku telah tiba. Lekas, aku bangkit berdiri. Sepertinya gerakanku terlalu bersemangat dan sedikit terburu-buru. Sampai kursiku terhentak ke belakang dengan kasar, menabraki meja di balik punggungku, dan menimbulkan bunyi 'BUK!'.

Aku terkekeh malu usai meringis sejenak. Belakang lututku berdenyut ringan karena insiden barusan. Kulirihkan kata maaf pada anak perempuan di belakangku, juga pada semua penghuni kelas ketika mata-mata mereka tertuju ke arahku. Kehebohan ini benar-benar membuatku kehilangan muka.

"Nama dan asal sekolah, ya," guru wali kelas kami yang sebelumnya memperkenalkan dirinya sebagai Bu Nilam, mengingatkanku kembali. Di wajahnya terukir seulah senyum paham.

Aku membuka mulut, tetapi suaraku selip. Maka aku berdeham untuk mendapatkan suaraku kembali. 

"Halo, ehm … perkenalkan, namaku Je."

"Nama lengkap?" tanya Bu Nilam.

Kugaruk paha yang terbungkus rok biru tua. "Biasanya aku dipanggil Je. Tapi, nama lengkapku Jelita Resnawati. Aku lulusan SD Negeri 1." Aku meringis. 

Kasak-kusuk menjalari udara. Sebagian berkata, 'Oh, jadi ini Jelita-Jelita itu'. Sisanya terkikik. Bisa segera kuterka apa yang mereka anggap lucu. Sekolahku sebelumnya. Juga, ketidakkorelasian antara nama dan pemilik nama. Namaku yang jelita, dan wajahku yang tidak 'sebegitu' jelita.

Anak sekolah swasta biasanya menertawakan sekolah negeri. Mereka menganggap sekolah negeri hanya kalangan rata-rata; terlalu biasa. Kalau saja aku bisa jadi pembocor informasi, bisa saja kuumumkan kalau semua itu pun berlaku kebalikan. Sebab di sisi lain, anak sekolah negeri menertawakan sekolah yayasan ini. Bagi mereka, siswa di sini adalah siswa sampah. 

Bagaimana tidak? Menurut gosip yang beredar, mereka selalu menerima pindahan dari mana pun, selagi dibayar. Tak peduli track record si anak pindahan. Entah dia di-drop out karena tidak naik kelas, atau karena kasus kenakalan.

Diani, teman SD-ku, bahkan berkali-kali bertanya kenapa aku bisa memutuskan masuk sekolah ini.

Kujawab satu kalimat, "Ayahku yang suruh karena aku dapat beasiswa di sekolah ini."

Diani menepuk pundakku sambil menatapku iba. Katanya, "Semoga kepintaranmu nggak sia-sia."

Kulihat Bu Nilam pun ikutan tercengang sejenak, sebelum ia bertepuk tangan heboh, lalu mengulas senyum lebar padaku. "Wah, wah … ini nih, peraih NEM tertinggi di kota kita. Peraih nilai tes sekolah yang paling tinggi juga, lho. Silakan duduk, Jelita."

Aku meringis lagi, dan berterima kasih dengan lirih. "Je saja, Bu."

"Ah, oke. Je." Bu Nilam tertawa kering.

Jujur, kalimat pujian tadi membuatku amat bangga. Sorot penghinaan dan ejekan yang kutahu disasarkan pada namaku yang tidak sesuai fakta kini hilang sudah. Berganti tatapan kagum yang membuatku ingin melayang menembusi plafon kelas.

Setelah tubuhku kembali tertopang di atas bangku, Bu Nilam mempersilakan teman sebangkuku untuk memperkenalkan dirinya. Kuembuskan napas lega. Bola api sudah tidak lagi ada di tanganku. Namun, ada sedikit sesal yang menyelipkan dirinya di sana. Perkenalan diriku kesannya agak memalukan. Dan aku tidak puas akan hal itu.

Nama teman sebangkuku Ni ... siapalah Maharini. Namanya sebegitu panjang, tapi ia meminta dipanggil hanya dengan Rins. Beberapa jam sebelum ini, sewaktu tengah mencari namaku di kertas yang ditempel pada pintu masing-masing kelas, aku menyusuri namaku dari kelas paling belakang. Konsekuensinya, terlambatlah aku tiba di kelasku yang rupanya adalah kelas paling awal.

Lihat selengkapnya