2007
"Lho, kamu suka baca novel, ya?"
AKU MELONGOK dari buku di hadapanku. Seketika tersadar kalau Rins yang duduk di hadapan tengah mengamati sampulnya.
"Iya." Aku terkekeh. Antara senang karena hobiku disentuh, juga malu karena menyadari bahwa telah beberapa menit aku mengabaikan Rins karena larut menyimak isi cerita.
Ya, aku dan Rins akhirnya mendarat di kantin sekolah. Satu deret bangunan beratap, tanpa dinding di sisi depannya. Ada kamar-kamar tak berpintu yang dimanfaatkan sebagai lapak para penjual. Jika kuhitung, ada lima lapak dengan makanan berat khas masing-masing. Satu bakso dan mi ayam, satu nasi kuning dan nasi goreng, satu gado-gado dan batagor, dan yang paling belakang cilok, yang berkuah dan yang digoreng. Lapak nasi kuning juga menjual aneka gorengan, seperti tahu, mendoan, bakwan, pisang, dan singkong goreng.
Kuputuskan jajan cilok saja. Uang sakuku cuma cukup untuk membeli makanan yang tidak seberapa berat, sedangkan aku sedang tidak ingin makan gorengan, berhubung aku tengah memangku buku. Tanganku akan dilengketi minyak dan itu berpotensi membuat kertas bukuku jelek. Waktu yang tersisa juga tidak banyak. Selain sempat tersita oleh pengumuman Ayu dan kawan-kawan, juga terjeda oleh proses pencarianku akan keberadaan Gibran. Meski ujungnya anak laki-laki itu tidak kutemukan.
"Sama. Aku juga. Aku boleh pinjam novel ini habis kamu baca, nggak? Kayaknya bagus, deh."
Permintaan Rins kubalas anggukan antusias. Senang sekali rasanya menemukan satu fakta istimewa: rupanya aku dikaruniai teman semeja yang satu hobi. Belum apa-apa, sudah terbayang dalam kepalaku adegan bagaimana kami saling berbagi dan mendiskusikan isi buku-buku yang kami baca.
"Aku punya banyak novel di rumah," jelasku. "Nanti kubawakan kalau kamu mau baca, ya."
Rins tersenyum. Memamerkan lesung di kedua sudut bibir bawahnya. Obrolan terjeda oleh kedatangan pesanan kami.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu kenapa?" tanyanya setelah cilok kuah kami dalam mangkuk ayam jago terhidang di depan mata.
Kutiup uap dari kuah cilokku. "Apanya?"
"Itu, tadi kamu kayak kaget gitu pas perkenalan. Aku yang di samping juga ikut kaget, masa."
Kepalaku memutar kembali adegan di kelas. Kilas pendek. "Oh." Aku terkekeh malu. Juga bimbang, antara harus menceritakannya, atau tidak. Akan tetapi, berhubung Rins telah disepakati oleh sel-sel otakku sebagai sahabat dan kawan seperjuangan untuk tiga tahun ke depan, kuputuskan mengaku. "Itu lho … kamu lihat Gibran, 'kan?"
"Yang mukanya arab-arab ganteng itu, 'kan?"
Aku mengangguk penuh semangat. "Nah. Iya. Dia." Bahkan Rins pun mengakui ketampanan calon jodohku. "Dia itu ... teman TK-ku dulu. Makanya tadi aku agak terkejut pas ngenalin dia. Hehehe ..."
Mulut Rins membulat dan vokal "O…" yang samar meloncat dari sana. "Teman sekelas? Teman akrab?"
"Beda kelas, sih."
"Oh," Rins menggumam lagi. Kali ini sedikit lebih layu. "Tapi salut ih, kamu masih ingat siapa aja teman TK-mu. Padahal beda kelas. Aku sih, boro-boro. Teman sekelas pun nggak ada yang kuingat nama dan mukanya."
Aku yang tak puas dengan responsnya pun mendekatkan wajah kepadanya, melewati mangkuk cilokku. "Ssst. Sebenernya ... eh, ini rahasia. Sebenernya, dia itu, cinta pertamaku."