2007
HARI MASIH terlalu dini sewaktu aku memasuki kelas. Di hari kedua bersekolah tanpa MOS, semangatku masih tumpah-ruah dan meruap-ruap.
Ayah memang melarangku ikut pekan orientasi. Untuk ikut serta dalam kegiatan itu, kami perlu membayar lebih. Kata Ayah, "Buat apa bayar tiga ratus ribu cuma buat kenal sekolah? Nanti kalau kamu masuk juga kenal."
Kusetujui alasan itu, meski kutahu jelas, Ayah hanya enggan mengeluarkan uang untuk hal yang menurutnya sia-sia. Sebab agenda MOS bukan hanya mengenali sejarah pendirian dan seluk-beluk sekolah ini. Melainkan juga piknik dan jalan-jalan yang memang buang-buang uang.
Dari energiku yang penuh itulah aku bisa bangun kelewat subuh dan mandi kelewat dini. Abang Jul sampai mengomel lantaran Ayah menyuruhku berangkat bersamanya. Otomatis, dia pun harus kubangunkan lebih awal. Berbeda denganku yang langsung mengarah ke gerbang sekolah, Abang Jul malah berbelok di tikungan.
"Aku nggak bolos, ya. Ini cuma terlalu subuh buat masuk kelas. Daripada bengong macam sapi ompong di sana karena nggak tahu mau ngapain, mending aku ke bengkel Bang Imran dulu. Jangan ngadu yang nggak-nggak ke Ayah, lho."
Kubalas penjelasan panjang lebarnya dengan tawa. Tanpa dijelaskan pun, aku percaya Abang Jul bukan manusia nakal yang doyan bolos. Ia bukan anak yang amat patuh, tapi juga tidak senakal Juf, adikku, yang kini duduk di bangku kelas enam. Terlalu berisiko juga baginya untuk bolos sekolah dengan statusnya sebagai siswa kelas sembilan dan tidak punya bekingan.
Suasana sekolah masih sepi. Parkiran hanya diisi satu mobil dan dua motor yang sepertinya milik kepala sekolah dan satpam. Sepanjang koridor yang kususuri, cuma kutemui satu atau dua anak kelas lain yang juga baru datang. Bahkan penjaga sekolah pun masih berjibaku menyirami pohon dan tanaman lain di pelataran.
Kelasku tak kalah sepi. Ketika aku masuk, pintu masih terkatup, kendati kuncinya telah terbuka. Belum ada siapa pun. Usai meletakkan tas, kunaikkan kursi ke atas meja dan beranjak ke belakang demi mengambil sapu. Ini bukan jadwal piketku, tetapi kurasa, aku perlu bertanggung jawab sebagai pengurus kelas yang menyusun jadwal bersih-bersih. Lantaran daftarnya baru kubentuk kemarin dan baru akan dipublikasikan hari ini, maka besok baru bisa dijalankan secara resmi.
Ketika tengah menaikkan kursi-kursi ke atas meja itulah seseorang datang. Pratama, anak cowok yang jangkung dan badannya sudah terbentuk itu.
"Pagi," sapanya sambil melangkah ke mejanya. Suaranya sember, tidak seperti suara anak lelaki kebanyakan yang seumuranku. Tak kusangka, tak kuminta, tapi ia juga ikut membantuku menaikkan kursi-kursi. Membuatku melongo sejenak.
"Eh, pagi," balasku kikuk dan agak terlambat.
Kami tidak mengobrol lagi. Hingga, aku mengerjap takjub saat Tama meraih sapu yang lain dan ikut membantuku menyapu pergi debu dari deretnya.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berterima kasih, karena bantuan ini jelas-jelas sangat berarti? Ataukah aku harus meminta anak laki-laki itu untuk membiarkanku mengerjakan semuanya sendiri? Ini kan, bukan jadwalnya.
Kenyataannya, aku tidak mengatakan apa pun. Tidak mampu melakukan apa pun, karena canggung, selain bungkam sambil terus menyapu. Harus kuakui bahwa bantuannya memang kubutuhkan. Membersihkan kelas seorang diri cukup merepotkan.
Begitu seluruh deret telah tersapu dan debu-debu terkumpul di bagian depan kelas, baru kuhentikan ia.
"Tama, udah, nggak perlu dibantuin. Aku bisa sendiri, kok. Makasih, ya."
Tama tampak kikuk, kelihatan tidak enak.
"Udaaah, beneran nggak apa. Kamu duduk aja. Segini juga tinggal dikumpulin terus dibuang ke tempat sampah," paksaku.