2007
KEMUNGKINANNYA hanya dua, Gibran datang terlambat, atau dia tidak datang. Menunggunya dengan gelisah selama hampir satu jam adalah hal yang sia-sia.
Ketika akhirnya aku kembali ke kelas dan seisi kelas sudah duduk tertib lantaran bel pertanda pelajaran dimulai telah dibunyikan, barulah anak tampan itu datang dengan napas merengap dan langkah menderap.
"Belum dateng 'kan, gurunya?" tanyanya pada siapa pun.
Tora yang duduk di dekat pintu menyahut duluan, "Belum, kok. Santai. Begadang apa gimana, Pak Haji?"
Hilman di belakangnya menimpali, "Aku lebih curiga sama kemungkinan dia berbasah-basah ria di alam mimpi."
Anak lelaki di deretan itu tertawa. Gibran geleng-geleng kepala sambil tersenyum masam. Dari jarak sejauh ini pun aku mampu mendengar ia memaki, "Dodol kalian semua," sebelum beranjak ke mejanya sendiri.
Harapan untuk menyapa calon pacarku lagi-lagi harus kutenggelamkan kembali di dasar rawa-rawa. Sel-sel otakku bersorak sendu, "Kasihan."
Satu yang kusyukuri, ketika aku masuk kembali, kerumunan di sekitar meja Pratama telah bubar. Entah apa yang terjadi setelah aku pergi. Aku pun enggan mengetahuinya, sekalipun ada beberapa sel otakku yang menerbangkan tanya dan ide untuk menanyakannya pada Rins. Namun, hatiku telah kadung mencelus melihat Pratama duduk menunduk begitu dalam di kursinya, sedangkan anak-anak lain tertawa-tawa dengan ceria, seolah baru selesai menonton drama komedi.
"Eh, tadi kamu ke mana?" bisik Rins di telingaku.
"Ya?" Aku tersentak oleh pertanyaannya yang tiba-tiba. Kupalingkan kembali kepalaku ke depan, fokus mengeluarkan buku-buku dan menghidu aromanya. Aku selalu menyukai bau buku baru. "Oh. Jalan-jalan berkeliling."
"Oh …" Rins ikut mengarahkan tepian bukunya ke hidung sendiri. "Eh. Mau tahu nggak, apa yang lucu? Ternyata, Tama nggak bisa baca."
Kalimat itu sejenak menghentikan pergerakanku. Juga napasku. Juga ide-ide yang disampaikan sel-sel otakku. Entah harus seperti apa aku bereaksi. Yang ada hanya kebingungan total. Bingung mau berbuat apa. Bingung mau mengatakan apa. Bingung karena tidak mendapatkan apa pun yang lucu dari fakta yang baru saja Rins sampaikan.
Ketiadaan komentarku barangkali dianggap Rins sebagai keinginan mendengar lebih lanjut. "Bayangin. Udah kelas satu SMP belum bisa baca. Apa kata dunia? Adikku yang duduk di TK aja udah bisa ngeja."
Kuhela napas demi menekan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja terlahir. "Kemampuan orang beda-beda, kali, Rins," timpalku bijak.
Kupelajari teori itu dari pengalamnku sendiri. Kemampuan membacaku hadir lebih dini; paling dini dibanding ketiga saudaraku. Sudah mampu aku membaca lancar dan menghitung penjumlahan sejak taman kanak-kanak. Berbeda dengan Juf yang baru bisa lancar membaca ketika naik kelas dua SD. Atau, Bang Juf yang katanya sudah bisa menghitung sejak kelas satu, tapi baru bisa membaca lancar saat duduk di bangku kelas tiga.
Hal-hal itu membuatku mengerti, kemampuan manusia beragam bentuk dan jenisnya.
Suatu kali aku pernah membaca sebuah buku yang memberitahukan jenis-jenis kecerdasan manusia. Mungkin aku pandai dalam menghitung, tangkas berbahasa, dan lihai menggambar, tetapi aku lemah berolahraga. Mungkin, hal yang sama pun berlaku bagi Pratama. Anak itu bisa jadi lemah dalam belajar, tetapi memiliki kemampuan dalam aspek lain, hanya saja belum ia temukan. Siapa yang tahu?
Jari Rins menjentik. "Nah. Itu maksudku. Apa itu berarti, Tama itu idiot?"
"Hus," aku mengibas. "Mana bisa kita menilai begitu?"
"Ya, habis. Dia kan, aneh. Aku dengar dari Ayu, tuh, tadi. Katanya, papanya bilang, Pratama nggak lulus SD dua kali. Makanya, dia terpaksa pindah kota jauh-jauh."
Baru kali ini isu yang dibawakan Rins tentang Pratama membuat mataku melebar. "Ah, masa?"