2007
UNTUK PERTAMA KALINYA kusambangi sekolah dalam suasana anomali. Triple Anomali. Pertama, bukan untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Kedua, ketika langit hampir renta oleh mentari yang tergelincir turun dari posisi terpuncaknya. Dan, ketiga, aku datang tanpa mengenakan seragam.
Sebelumnya pernah sih, kudatangi sekolah ini dengan gaya busana kasual yang sama. Saat tes masuk beberapa waktu yang lalu. Tetapi, itu berlangsung di pagi hari. Suasananya pun jelas tidak seperti saat ini.
Yang berkeliaran di lapangan adalah anak-anak ekstrakurikuler. Sepertinya ini campuran, antara SMP dan SMA. Sebab; mampu kutangkap kehadiran sosok-sosok berbodi tegap nan berbentuk mantap di seberang sana. Anak SMP mana mungkin sebongsor itu? Oh, sel-sel otakku menjawab pertanyaan retoris barusan: Pratama.
Aku tertawa kecil. Mereka yang melihatku mungkin bakalan berpikir aku sinting, atau aku memiliki kemampuan ekstra berkomunikasi dengan bangsa jin.
Aku tertawa lagi sendirian.
Ada pula beberapa anak berseragam putih-putih nan lebar yang berbaris di lapangan basket. Anak laki-laki lain tengah bermain bola di lapangan sepak bola. Mayoritas di antara orang-orang yang memenuhi lapangan adalah saudara-saudara Kevin, berkulit putih dan bermata sipit. Kujuluki mereka Kevin dua, Kevin tiga, dan seterusnya.
Berbeda dengan lapangan-lapangan lainnya, lapangan upacara justru tampak lengang. Maka pada tepiannya yang dilindungi kanopi dari pohon akasialah kuputuskan duduk menunggu. Mataku jelalatan. Mencuri secuil kesegaran dengan menontoni Kevin Dua dan seterusnya yang mulai melancarkan aksi.
Kedatanganku kemari adalah demi seberkas tanggung jawab. Alda meminta pengurus kelas inti berkumpul di sekolah pukul tiga. Kemudian, kami akan berangkat bersama-sama ke mal dengan supirnya.
Sel-sel otakku menegaskan kalimat itu: perjanjiannya pukul tiga. Kenyataannya, aku bahkan sudah telat lima belas menit karena lama menunggu angkot yang tidak kunjung muncul, tetapi batang hidung Alda, Ambar, maupun Gibran belum juga mencuat. Padahal, demi datang lebih dini kemari karena takut ketinggalan, sampai kutolak permintaan Uwi, adik bungsuku yang TK, untuk menemaninya belajar menggambar. Akibatnya, Uwi sempat merengek dan menangis, membuatku tidak enak hati.
Beruntung, aku membawa Summer in Seoul-nya Ilana Tan hingga bisa kubaca demi membunuh suntuk dan waktu. Sebab rupanya Kevin Dua dan seterusnya versi bongsor itu tidak cukup mempan mendamaikan sel-sel otakku yang kelewat aktif menawarkan ribuan topik dan ratusan kecemasan untuk terus kupikirkan sampai larut.