Butterfly Effects: Je T'aime

Celestilla
Chapter #5

Tiga: Nasi Tak Dingin, Pinggan Tak Retak

2007

WAKTU KUUTARAKAN unek-unekku, Rins mencoba untuk menenangkanku.

"Rencananya kita nggak jadi bahan perhatian mereka, tapi kamu kan bukan dengan sengaja nyari perhatian itu. Semua ada di luar kuasa kamu, 'kan?"

Akan tetapi, sel-sel otakku tetap saja berkeriapan. Tidak tenang. Aku was-was menanti semburan apa yang bakal didaratkan Ayu padaku hari ini.

Namun, rupanya, Rins benar. Dugaanku kelewat besar dan tidak berdasar. Hanya karena Ayu melakukan 'itu' padaku, bukan berarti dia akan melakukan hal yang lebih buruk lagi. Kenyataannya, begitu bel pertanda bubar telah berbunyi, anak itu langsung pulang dengan grup trionya alih-alih menyumpahi atau mendampratku, sebagaimana skenario terburuk yang otakku suguhkan.

Kusyukuri hal itu. Sebelum aku teringat bahwa gara-gara kewaspadaanku yang tidak berdasar itu, lagi-lagi, aku malah lupa menyapa Gibran. Dia juga keburu pulang. Arrrgh!

Untungnya, kekesalanku mereda seiring waktu berjalan. Begitu turun angkot, aku telah benar-benar lupa akan rasa gondok yang sempat menyerang. Aku tiba di rumah usai naik angkot selama tujuh menit dan jalan kaki menyisiri setapak ke dalam gang sejauh sepuluh meter. Semuanya baik-baik saja.

Rumahku cukup sederhana. Lantainya masih berupa semen yang dilicinkan dan kamarnya cuma tiga. Mula-mula, kamar hanya ada dua. Sisanya adalah kamar tambahan yang dibuat belakangan, setelah aku mulai menstruasi dua tahun yang lalu.

Kata Mama, anak perempuan yang sudah puber tidak boleh tidur dengan orang tua, apalagi dengan dua saudaraku; Bang Jul alias Julian, kakakku, dan Juf alias Jufri, adikku. Sebelumnya, aku tidur bersama Mama dan Ayah, beserta Uwi alias Juwita, adikku yang baru masuk TK.

Jangan bertanya kenapa kami memanggil orang tua dengan Ayah dan Mama, bukannya Ayah dan Bunda, Ayah dan Ibu, atau Papa dan Mama. Sejak kecil, kami sudah diajarkan seperti itu.

Pernah suatu ketika aku bertanya pada Ayah. Jawabannya amat sederhana:

"Jangan kebanyakan mikirin itu. Fokus belajar aja kamu."

Sejak saat itu, aku berusaha mengerem mulutku dan menggulung lidahku, kendati ada segudang pertanyaan yang memberangus otakku. Sebab aku tahu sebagaimana yang sudah-sudah, jawaban Ayah akan selalu sama. Yang berbeda hanya intonasinya saja, yang pelan-pelan mengeras, menguat, lalu berubah jadi membentak. Mungkin bosan meladeni pertanyaan-pertanyaanku yang sering dianggapnya tidak penting.

Pertanyaanku dimulai dari: kenapa kita harus makan pakai tangan kanan; kenapa ketika menulis pensilku selalu dipindahkan dari tangan kiri; kenapa kita harus belajar mengaji; kenapa kitab suci Al-Qur'an tidak ditulis pakai bahasa Indonesia saja; bagaimana manusia bisa hidup; apa saja yang terjadi selama aku masih ada di perut Mama; dan pertanyaan konyol lainnya.

Sebagian pertanyaan telah kuperoleh jawabannya sendiri sembari belajar seiring waktu berlalu. Karena tangan kiri adalah tangan untuk cebok dan tangan kanan adalah tangan mulia; karena menggunakan tangan kiri dianggap sebagai pekerjaan setan; agar bisa memahami kitab suci; untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an; karena adanya proses pembuahan sel telur Mama oleh sperma Ayah; dan Mama yang mual-mual.

Lihat selengkapnya